“Kenyamanan akan timbul di saat kebersamaan yang terjalin penuh kehangatan dan juga ketulusan yang diberikan.”
—Leonard Malvino—
Setiap lara sudah terjabarkan semua. Menceritakan banyak luka, kesakitan, sesak, bahkan sampai titik di mana benar-benar ingin menyerah. Malam itu, semua kesakitan Suci diutarakan semuanya kepada Restu. Restu yang menjadi pendengar ikut merasakan apa yang Suci rasakan. Meski rasa sakit itu hanya mampu Restu dengar.
Sejak malam itu pula, hukuman Suci dilaksanakan. Setelah dari rumah pohon bersama Restu, Suci kembali lagi ke rumah yang tampak seperti neraka. Meski Suci hanya tertidur di depan rumah tanpa menggunakan alas.
Suci tidak merasa sedih, meski ia harus diterpa angin malam yang menguliti tubuhnya. Setidaknya Suci sedikit memiliki harapan setelah ia bertemu dengan sosok Restu. Perkataan Restu di rumah pohon itu selalu terngiang di telinga dan pikirannya.
“Lo enggak sendirian, Suci. Lo masih punya gue, yang akan selalu ada untuk lo. Lo bisa menyalurkan segala rasa sakit lo ke gue, biar rasa sakit itu kita bagi dua,” tutur Restu sangat lembut.
“Ta-tapi, Kak, ini masalah Suci. Kak Restu tidak pantas ikut merasakan bagaimana sakitnya berada diposisi ini,” lirih Suci.
“Gue pantas kok, merasakan apa yang lo rasakan. Lo punya gue, dan gue punya lo. Kita akan menjadi sahabat yang akan selalu menguatkan.” Restu meraih tangan Suci, sedikit mengusapnya.
“Sahabat?”
“Iya, sahabat. Lo mau kan, jadi sahabat gue?” tanya Restu penuh harap.
Suci mengangguk tersenyum. “Suci mau, Kak.”
Malam itu Suci mendapatkan sosok sahabat baru, setelah ia hanya memiliki sahabat dekat yaitu, Nadia. Suci tidak lagi merasa sendiri. Hatinya merasa lebih baik, karena masih ada orang-orang yang peduli.
Tuhan memang sangat maha baik. Memberikan apa yang kita butuh, meski sebagian besar Tuhan tengah menguji kehidupan.
Tak ada sapaan selamat pagi yang disampaikan oleh kedua orang tuanya, maupun oleh Luna. Tak apa, Suci sudah terbiasa akan hal itu. Prioritas utamanya sekarang adalah, bagaimana caranya Suci bisa memberikan lebih untuk orang tuanya agar bangga.
Sekarang ini, Suci sudah disambut dengan tugas-tugas program OSIS yang sedang ia buat dengan beberapa anggota lainnya. Hari ini ia senang, karena ia menerima proposal yang sudah di acc oleh pihak kepala sekolah.
“Aaa ... thanks, ya, Lang. Ternyata lo bisa ngerjain ini sendirian. Sorry, ya, soal kemarin. Gue nggak nyangka kalau misalnya Leonard bakal semarah itu sama lo,” tutur Suci pada Gilang. Sampai sekarang Suci masih tak enak mengenai perihal kemarin.
“Ci, lain kali jangan hubungkan soal percintaan lo ke dalam tugas lo, ya. Apalagi lo, kan, ketua OSIS di sini,” ujar Gilang memberitahu.
“Oke, Lang. Pokoknya gue akan memberikan sedikit pengertian sama pacar gue. Kalau gitu, gue cabut duluan, ya. Soal gimana selanjutnya, kita akan atur lagi waktunya.”
“Okey.”
Tugas awal selesai. Sekarang Suci harus segera ke kelas untuk memberitahu hal ini pada Nadia. Pasti sahabatnya itu akan antusias dengan acara yang akan dilakukan oleh sekolah. Apalagi, acara tersebut dijamin akan lebih meriah, karena akan ada cara live musik di malam hari.
“Eits, Suci dalam debu. Tunggu dulu dong, gue mau tanya, nih, ada razia nggak sekarang? Btw, soalnya gue bawa lip blam, nih.” Yusuf si ketua kelas itu tiba-tiba menghadang Suci yang baru saja masuk ke kelas, dengan pertanyaan konyol yang sulit Suci mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lonely
Teen Fiction[Harap follow sebelum membaca] "Sunyi itu tidak buruk. Hanya saja terlalu sepi." By : Mamake_Nyong. Ini tentang gadis bernama Suci Amara Ayesha. Gadis kesepian, yang terpaksa hidup diantara keramaian di tengah-tengah keluarga bahagia. Sayangnya, Suc...