(51). Problem Solving

327 30 9
                                    

"Ah, sial." Andra mengumpat gusar dengan tumpukan kertas yang ia bawa. Tungkainya melangkah dengan pasti menuju ruangan Pak Harits selaku koordinator dan Pembina olimpiade.

Bukan hanya siswa yang memiliki ketua tim, rupanya menjadi tutor juga mengharuskan Andra ditunjuk sebagai perwakilan tutor yang akan bertanggungjawab mengumpulkan seluruh rekapitulasi skor latihan para siswa setiap bidangnya setiap hari.

Kedua jarinya yang tertekuk sudah mengetuk pelan pintu kamar yang menjadi ruangan Pak Harits—masing-masing Pembina dari setiap sekolah pemenang memang diberikan satu kamar khusus.

Tidak mendengar adanya sahutan dari Pak Harits, Andra memilih untuk memutar tubuhnya untuk kembali. Mungkin Pak Harits sedang makan malam? Atau urusan pribadi lainnya. Nanti-nanti dia bisa balik lagi untuk melaporkan.

"Kenapa mengadakan rapat tepat saat saya tidak ada?!"

Suara barinton dari guru yang sedang Andra cari menghentikan langkahnya. Matanya menyusuri lorong hotel untuk menemukan jejak sumber suara. Telinganya semakin tajam untuk menelusuri ke arah mana suara tadi muncul.

Mengikuti arahan dari indra pendengaran dan penglihatan, tungkai Andra berhenti pada ujung koridor yang membawanya pada area lift.

Badan tinggi Andra masih bersembunyi di balik tembok ketika matanya sudah berhasil menatap Pak Harits yang membuang napas gusar. Tangannya mengenggam erat ponsel di telinganya dalam posisi berdiri mematung di depan lift.

"Rosa, apa lagi yang kamu rencanakan di APRI? Anak-anak terbaikmu sedang mati-matian membawa medali emas untuk APRI. Maka jangan bertingkah—

Suara Pak Harits tercekat dengan alis menukik, menggambarkan bahwa pria paruh baya itu tengah mendengar dengan seksama suara di balik ponselnya.

"Kamu sengaja mengadakan rapat pembangunan gedung itu di saat saya sibuk mengurus anak-anak olimpiade. Maka saya berhak untuk menuntut hak suara saya dalam menolak rencanamu."

Pak Harits menggeram marah diikuti telunjuknya yang menekan ikon merah tanda ia sudah mematikan sambungan seluler secara sepihak.

"Bu Rosa bertingkah lagi ya pak?" Andra keluar dari tempat persembunyian.

Jantung Pak Harits seperti jatuh dari tempatnya mendengar suara yang tiba-tiba mengalun dan sosok tinggi yang muncul di belakangnya.

"Andra? Kamu mendengar obrolan saya barusan?"

Andra mengangguk "Ini tahun terakhirnya menjabat bukan? Dia pasti enggak akan menyia-nyiakan kesempatannya kali ini, Pak Harits. Berbeda kondisinya dengan lima tahun lalu, ketika Bu Rosa terpaksa mengalah pada pemberontakan siswa demi mempertahankan kursinya di APRI."

Pak Harits membuang napasnya kasar. "APRI masih sama Ndra. Gak ada yang berubah semenjak kamu pergi dari APRI membawa beasiswamu."

"SMA APRI itu sekolah negeri yang harusnya tidak terikat sama lembaga manapun. APRI berdiri di bawah Kemendikbud dengan dana APBN yang telah ditetapkan. Tapi dalam prosesnya, kenapa jauh dari sistem yang seharusnya?"

"...Bukankah illegal untuk lembaga pemerintah mempunyai donator dan mendapatkan donasi 'berlebihan'?"

Andra tersenyum simpul. Miris.

Pak Harits yang sudah mengenal bagaimana karakter Andra ikut tersenyum penuh arti. Memahami perasaan Andra yang mungkin masih sakit hati tentang sistem APRI.

Tangan Andra yang penuh tumpukan kertas rekapitulasi skor latihan siswa terangkat di depan dada Pak Harits. "Hasil skor anak-anak hari ini, Pak."

Pak Harits menatap gusar seraya menangkap kertas tersebut. "Terima kasih Andra."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KANTAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang