SEVENTEEN ✧ SLAVE II

52.8K 825 51
                                    

Sebenarnya Jessi sudah lelah mengikuti kemauan Felix. Yang lebih menyebalkannya lagi, ia tidak bisa menolak. Ia sudah menandatangani perjanjian kontrak Master-Slave diatas materai, dan ia tidak bisa melanggar semua perintah yang tertulis disana sebelum kontrak itu berakhir. Hanya satu hari, tapi terasa satu abad bagi Jessi.

Jessi membuka matanya menatap Felix yang berada diatasnya, seperti biasa, senyuman licik menghiasi wajahnya, matanya meledek menatap Jessi. Jessi tidak tahu apa lagi yang akan direncanakan Felix.

Perlahan, jari tengah Felix memasuki vaginanya yang masih begitu basah. Semakin lama, jarinya bergerak semakin cepat. Jika terus seperti ini, Jessi bisa saja klimaks lagi. Tiba-tiba, Felix menghentikan jarinya. Kali ini mulutnya lah yang mulai menggoda Jessi, mendekat ke arah vaginanya, memberikan hembusan napas disana, lalu mulai bermain dengan lidahnya. Sesekali Felix menciumnya atau kadang menghisapnya kuat sampai Jessi dapat mendengar sebecek apa vaginanya.

Jessi tidak tahan, kedua tangannya refleks meremas rambut Felix, tapi hanya sebentar, tangan kanan Felix dengan cepat membatasi pergerakannya. Ia mengepalkan telapak tangannya frustasi saat lagi-lagi tidak dapat menyentuh Felix. Ia sama sekali tidak mengerti Felix. Kenapa suaminya itu tidak suka disentuh olehnya? bukankah setiap pria mendambakan sentuhan dari wanita? tapi kenapa Felix tidak pernah mau disentuh? kenapa ia bahkan terlihat membenci sentuhan dari Jessi. Jessi ingin sekali tahu alasannya, tapi saat ini bukanlah saat yang tepat untuk menanyakannya.  Astaga, ia merasa dekat.

"S..Sir.."

Felix langsung mengerti apa yang diinginkan Jessi. Siapa sangka Jessi yang pemarah begitu mudah mencapai puncak kenikmatan di ranjang? memikirkan hal itu semakin membuat Felix bersemangat, lidahnya bergerak semakin liar, menusuk semakin dalam, bergerak memutar, sambil terus menghisap cairan yang keluar dari sana.

"Sir.. please.."

Jessi tidak dapat menghadapi semua ini, ia paling benci menahan orgasmenya, tapi Felix justru sebaliknya. Suaminya itu terlihat senang sekali setiap kali Jessi memohon padanya untuk membiarkan Jessi mencapai pelepasan, dan dengan jahilnya, Felix selalu memperlambat hitungannya. Membuat semuanya jauh lebih rumit, membuat Jessi berusaha lebih kuat untuk menahan rasa ingin klimaksnya.

"SIRR!!!"

Felix terkekeh, ia dapat merasakan semburan cairan itu sudah siap keluar dari vagina Jessi kapan saja, tapi Felix ingin bermain lebih lama dengan Jessi. Ia tidak akan membiarkan Jessi orgasme semudah itu.

"You can't do anything until i give you permission, Jessica. So, no matter what happens, just hold it."

"Ngghhh but-"

"Don't give me any buts. Didn't i told you before? all i wanna hear is "Yes, Sir". Have you already forget about that?"

"N-no, Sir.. i'im sorry.."

Jari tengah Felix mulai memasuki vagina Jessi lagi, sementara bibirnya berpindah mengecup klitorisnya, menghisapnya, serta menggigitnya pelan. Jessi mulai merasakan kuku-kukunya menekan telapak tangan akibat kepalan nya yang terlalu kuat. Mungkin salah satunya sudah menimbulkan luka, tapi Jessi tidak sempat memperdulikan itu saat ini. Yang ia inginkan sekarang hanyalah pelepasan. Ia sudah tidak sanggup lagi menahannya. Jika memang Felix tidak mengizinkannya, lebih baik Felix berhenti merangsang tubuhnya terus-menerus seperti itu. Jessi menggigit bibirnya kuat sampai tak terasa bibir lembut itu mengeluarkan darah segar. Lagi-lagi, Jessi tidak perduli.

"FELIXXX PLEASEEE!!!!"

Felix berhenti. Menatap Jessi serius. Jessi yang sedang terengah-engah dengan mata terpejam itu sama sekali tidak menyadari bahwa Felix sedang serius menatapnya. Jessi hanya merasa bersyukur karena Felix akhirnya berhenti menyiksanya. Ketika Jessi kembali membuka matanya, barulah ia menyadari bahwa ia melakukan kesalahan lagi. Felix sendiri sudah tampak lelah menghadapi Jessi yang selalu saja mengulangi kesalahannya. Dengan gusar, Felix membuka dasi hitam yang melingkari lehernya dengan sempurna, lalu dilingkarkannya dasi hitam itu menutupi kedua mata Jessi. Walaupun Jessi sangat membenci blindfold, Jessi tidak berani membantah, ia sudah melakukan banyak kesalahan.

DominantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang