Pukul 16:00 tepat, Lidia, Yuli, dan juga Jane sudah berada di rumah Jessi bersama dengan pasangan mereka masing-masing. Begitu sampai, mereka tidak langsung makan, mereka mengobrol di ruang tamu sambil menonton televisi.
Sedari tadi Jessi sama sekali tidak dapat menikmati percakapan mereka, ia bahkan tidak bisa fokus. Tangannya terus menerus mengepal, ia mengigit bibir bawahnya menahan desahan. Remot vibrator yang dikenakannya berada di tangan Felix, ia tidak pernah tahu kapan getaran dibawah sana akan berubah. Berkali-kali ia terkejut karena kecepatan vibrator itu berubah.
"Ahh!"
Bagus, Jessi tidak dapat menahan suaranya, Felix hanya menyeringai puas melihat ekspresi paniknya saat semua orang menatapnya dengan tatapan bingung.
"Lo kenapa sih Jess?" tanya Lidia yang berada tepat di samping Jessi.
"Gue.."
Jessi menjawab dengan gemetar, dan hal itu membuat Felix semakin jahil, ia menaikan tempo getaran vibrator sehingga membuat Jessi mendesah lagi.
"Heh, Jess! lo kenapa?!" Jane mulai curiga karena Jessi bersikap aneh.
"Aduhh.. gue.. gue ke toilet bentar ya!"
Dengan cepat Jessi langsung berlari ke toilet, Felix menarik kedua sudut bibirnya, menikmati hiburan ini.
"Lix, bini lo kenapa?"
"Ahahah, lagi pms Kai, perutnya sakit katanya."
"Oh anjir, gue kira dia kenapa ngedesah mulu gitu."
"Anjir Kai pikiran lo!"
"Dih emang bener Han."
"Udah-udah woi, skip." Yuli akhirnya membuka suaranya, mulai tidak nyaman dengan topik yang mereka bicarakan. Tak lama kemudian, Jessi kembali, dan Felix langsung mengagetkannya dengan mengubah getaran vibrator itu, membuat Jessi berjongkok tiba-tiba.
"Jess lo kenapa sih?"
"S-sakit perut Li."
Jessi menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha semaksimal mungkin menahan desahannya karena getaran di bawah sana tidak berkurang. Ia menatap Felix dengan alis mengernyit, mengisyaratkan Felix untuk berhenti, tapi Felix hanya menyeringai sambil menaikkan sebelah alisnya, lalu menaikkan kecepatan getaran pada vibrator itu. Jessi langsung merapatkan mulutnya sebelum desahan keluar dari sana, matanya terpejam rapat, tubuhnya gemetar, sebisa mungkin tidak melakukan gerakan yang mencurigakan.
"Aduhh Jess, kalo sakit banget lo istirahat aja, gak usah dipaksain."
Jane menghampiri Jessi, membantunya untuk berdiri, saat itu Felix lagi-lagi mengubah getarannya menjadi max membuat Jessi langsung membelalakkan matanya menatap Felix.
"Anjir Jess, lo.. lo beneran gapapa? sampe gemeter gini, gak mau ke dokter aja apa gimana gitu?"
"Engga.. engga Jane, gapapa. Gue gapapa beneran."
Jessi kembali duduk dengan yang lain, telapak tangannya menepuk-nepuk paha tidak sabar, matanya berkali-kali melirik jam dinding, berharap dua jam penyiksaannya akan segera berakhir, tapi takdir seakan bermusuhan dengannya, detik demi detik terasa lama sekali.
"Lix lo gimana sih, istri lo sakit perut ampe gemeter gini masa lo gak ada pedulinya sama sekali?"
"Astaga Jane, tadi gue udah beliin obat, udah gue kompres perutnya, udah gue ajak ke dokter juga, tapi dianya gamau."
Anjing! dasar tukang boong!
Seakan tahu apa yang digumamkan Jessi dalam hatinya, Felix mematikan vibrator itu, lalu dalam waktu kurang dari satu detik, ia menyalakannya lagi langsung dengan getaran max, membuat Jessi tidak mampu lagi menahan cairan yang berada di dalam vaginanya. Ia klimaks saat itu juga, matanya terpejam, tangannya yang tadinya mengepal erat kini terkulai lemah, badanya lemas, napasnya terengah-engah,
KAMU SEDANG MEMBACA
Dominant
Roman d'amour⚠️ALERT!!!⚠️ 18+ 21+ Kisah cinta Jessi berakhir bahagia, ia sudah berpacaran dengan Felix sejak berada di bangku SMA. Setelah melewati berbagai cobaan, mereka berhasil menikah. Jessi bersyukur kisah cintanya tidak rumit, tidak ada siapapun yang beru...