FIFTY NINE ✧ GHOSTED

11.7K 437 35
                                    

Jessi mengunjungi psikiater lagi. Kali ini ia pergi ke rumah sakit jiwa, ia tahu, ia pasti seakan sudah gila. Tapi ia hanya ingin berkonsultasi dengan psikiater yang lain, ia butuh seorang ahli. Lagi-lagi, Jessi pergi tanpa sepengetahuan Felix. Anaknya ia titipkan kepada babysitter di rumah. Jessi sudah membuat janji, begitu ia sampai di rumah sakit jiwa, ia akan segera berkonsultasi dengan psikiaternya tersebut.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit jiwa, Jessi melamun, memikirkan tindakannya. Apakah ia yakin? apakah ia tidak akan menyesal nantinya? apakah semua ini benar? entah mengapa, ia merasa, selama ini ia melakukan hal yang salah. Selama ini ia tersesat, ia bahkan merasa seperti kehilangan dirinya sendiri.

Tanpa sadar, Jessi sudah sampai di tempat tujuannya. Ia memarkir mobil nya dekat dengan jalan, di samping mobil kijang berwarna cokelat gelap. Jessi menghela napas sebelum turun dari mobilnya, menguatkan keyakinannya, lalu melangkahkan kaki keluar mobil. Jari-jari lentiknya dengan lincah bergulir diatas layar telepon pipih canggih miliknya, ia menelpon psikiater nya, memberitahu bahwa ia sudah sampai di rumah sakit.

"Permisi, ada yang bisa kami bantu?"

Tanya seorang suster berpakaian serba putih disana, suster itu sangat ramah, ia menyambut Jessi dengan senyum lebar.

"Ah, iya. Saya sudah buat janji dengan dokter Felicia."

"Oh, baik, mari saya antar"

Jessi berjalan di belakang suster itu, menaiki lift, lalu melewati lorong yang kanan-kiri nya dipenuhi orang-orang dengan gangguan mental. Lorong itu dipenuhi teriakan, tangisan, juga tawa. Jessi menatap pasien-pasien disana, lalu tersenyum kecut. Mungkin ia akan menjadi salah satu dari mereka jika ia terus bersama Felix.

"Silahkan masuk."

Ucapan suster itu membuyarkan lamunan Jessi dan menyadarkannya kembali. Jessi mengangguk, mengucapkan terimakasih, lalu membuka pintu putih bertuliskan "Dr.Felicia" itu.

"Halo, selamat pagi Jessica."

Jessi tersenyum, lalu duduk dihadapan psikiater muda itu. Dia tampak bisa diandalkan, juga bisa dipercaya.

"Selamat pagi."

"Jessica ini model majalah itu ya? setau saya anda juga merilis beberapa album."

"Iya, benar."

"Oh, kalau begitu, saya tidak salah orang. Lalu? mengapa anda berhenti? saya juga tidak pernah mendengar kabar anda lagi di internet maupun televisi."

"Ah, iya. Saya berhenti bekerja karena ingin fokus menjadi ibu rumah tangga. Yah, saya memang meminta media untuk tidak mempublikasikan saya lagi. Saya rasa, itu akan berdampak bagi kehidupan rumah tangga saya nantinya."

"Ah.. saya mengerti. Memang benar, bekerja di dunia entertainment bukanlah hal yang mudah."

"Ya..."

Jessi terdiam sesaat, melamun,

"Tapi saya menikmati masa-masa itu."

Benar, Jessi kehilangan dirinya.

"Jika anda menikmatinya, kenapa anda berhenti dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga?"

"Saya.. suami saya tidak suka saya menjadi model."

"Ahh, CEO itu.."

"Lalu? apakah anda baik-baik saja menuruti kemauan suami anda?"

Jessi menggeleng lemah, matanya masih menatap kosong kebawah. Saat ini, apapun yang ia katakan seakan tidak bisa ia kontrol, semua terpapar begitu saja.

"Tapi saya tidak punya pilihan lain. Mereka bilang, kita sebagai istri harus patuh dengan suami."

Psikiater itu tersenyum, lalu mulai berbicara lagi,

DominantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang