TWENTY FOUR ✧ YOU'LL REGRET IT

29K 685 77
                                    

Bokong Jessi sudah berwarna merah padam sekarang, ia memejamkan matanya erat. Tidak sanggup lagi jika harus berhadapan dengan paddle, belt, atau apapun itu.

"Lix.. hiks.. ampun.."

Jessi menangis, bokongnya terasa panas, tapi ia tidak berani membantah Felix.

"I don't think you understand,"
"So, i'm not done yet."

PLAKKK!!!

Jessi bahkan sudah tidak mampu berteriak, ia hanya bisa menangis. Setelah beberapa tamparan keras mendarat di bokong Jessi, Felix mengusap bokong itu. Lalu melepas handcuffs yang membalut kedua pergelangan tangan Jessi.

Jessi menghela napas panjang, lalu berbaring telentang, mencoba menenangkan dirinya. Ia masih merasakan panas di bokongnya, namun setidaknya, hukuman yang diberikan Felix telah berakhir.

"Don't."

Larangan Felix membuatnya terkejut saat ia mencoba membuka blindfold yang membuatnya merasa risih. Ia tidak suka gelap, ia tidak suka menerka apa yang akan terjadi, blindfold membuatnya merasa seperti orang buta.

"Blindfold makes you look sexier, Jessica."

Jessi hanya diam, kembali mengatur napasnya, meminimalisir rasa sakit di bokongnya.

"Now, sit."

Jessi tidak tahu apa yang direncakan Felix, namun ia menurut, ia tidak mau mengalami hal yang jauh lebih buruk dari yang ia alami sekarang.

"Minum."

Felix menyodorkan secangkir minuman, Jessi enggan meminumnya karena ia tidak dapat melihat apa yang diberikan Felix.

"Itu teh, sayang. Minum."

Setelah meyakinkan dirinya sendiri, barulah Jessi berani meminumnya. Air hangat mengalir melewati tenggorokannya, membuat perasaannya sedikit lebih lega. Tapi ia masih tidak dapat melawan rasa was-was yang mengganggu pikirannya. Tidak bisa melihat apa-apa membuatnya terus khawatir. Ia percaya pada Felix, ia tahu Felix mencintainya. Namun tetap saja, gelap membuatnya membayangkan hal-hal yang menakutkan.

Jessi merasakan kedua tangannya diraih oleh Felix, entah apa lagi yang akan dilakukan suaminya itu, ia pikir hukumannya sudah selesai, tapi ia salah, semua yang ia lalui hanyalah permulaan. Lagi-lagi, handcuffs membalut kedua pergelangan tangannya, kali ini, Felix menambahkan choker dengan rantai menjuntai untuk menghiasi leher jenjangnya. Jessi tidak berani bertanya, tidak berani berbicara, ia takut semua yang ia lakukan akan memperburuk nasibnya. Kedua tangannya yang terbalut handcuffs diikat di kedua tepi ranjang, begitu juga kakinya. Bagus sekali, Jessi tidak dapat melakukan apapun sekarang. Ia menyesal, tapi ia juga marah kepada Felix.

Sedari tadi, keheningan memenuhi ruangan, Felix tidak berbicara apapun, juga tidak melakukan apapun, hal itu justru membuat Jessi merasa semakin takut. Ia takut tiba-tiba Felix mencambuknya dengan belt, atau menarik rantai di chokernya, atau hal gila lainnya. Jessi ingin bertanya, tapi bibirnya gemetar, terlalu takut untuk sekedar mengeluarkan suaranya, karena ia masih dapat merasakan aura kemarahan yang menggebu-gebu dari Felix.

Sepuluh menit berlalu, Felix masih tidak melakukan apapun, ia hanya diam, memandangi tubuh Jessi yang terikat sempurna, entah sejak kapan, Bondage menjadi fetishnya, membuatnya merasa lebih bergairah setiap kali melihat Jessi tidak dapat bergerak, dan matanya ditutup oleh blinfold, sungguh indah.

Jessi menggeliat, tubuhnya panas, ia tidak khawatir lagi, ia tidak takut lagi, entah apa yang terjadi padanya, tapi sekarang ia ingin sekali membuka seluruh pakaiannya, ia berkeringat, dan merasa.. terangsang.

DominantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang