[51] Tak Terhindarkan

255 20 3
                                    

Kepulan asap berhembus dari bibir seorang pria yang kini menjepit sebatang rokok di jemari sebelah tangannya ketika sebelah tangannya yang lain masih dengan mudahnya mengendalikan kemudi.

Klaksonan kencang dari kendaraan yang baru saja ia salip tidak membuatnya melambatkan laju mobilnya. Yang ada, ia menginjak lebih dalam pedal gas untuk kemudian menerima klaksonan lain serta acungan jari tengah pengguna jalan yang lain.

Setelah sekali lagi menghisap dalam-dalam rokoknya, ia melempar sisa puntung rokok begitu saja melalui jendela di sisi pengemudi yang dibiarkan terbuka.

"Sekarang kau ingin bermain-main denganku, huh?" ucap pria itu setelah dihembuskan kuat-kuat dari bibirnya asap putih yang membuat seisi mobil berwarna abu tersebut berbau nikotin.

Matanya masih menatap lurus sebuah mobil berwarna hitam yang membuat adrenalin pria itu terpacu seolah ia sedang berada di arena balap.

Kurang dari sepuluh meter jarak antara mobil keduanya. Bahkan berkurang sedikit demi sedikit saat pria itu melajukan lebih cepat lagi mobil yang sedang dikemudikannya.

Kini, dia tepat berada di belakang mobil yang membuatnya seperti kesetanan di jalanan. Dilihatnya mobil hitam itu berbelok ke kiri, ke arah jalanan yang lebih sepi.

"Kau akan mengajakku berkeliling kota untuk mengecoh kewaspadaanku. Aku mengerti," dengusnya seraya menyipit memperhatikan bagaimana kendaraannya di depannya melebarkan kembali jarak mereka.

Tak peduli siapa yang ada di sana. Yang pasti ia harus menghentikan mobil itu sekarang juga. Maka dari itu ia kembali melesatkan kendaraannya hingga kini mampu memangkas jarak dan begitu saja menabrakkan moncong mobilnya ke bagian belakang mobil di depannya.

Alhasil mobil di depannya tak siap menghadapi hantaman lalu oleng ke tepi jalan sebelum berhenti ketika menabrak pagar pembatas jalan.

Dengan tergesa pria itu bangkit keluar lalu berlari dan membuka pintu bagian penumpang mobil yang telah ditabraknya tadi.

Tak seperti dugaannya, tak ada siapapun di sana. Hanya ada dirinya dalam versi lebih muda di balik kemudi.

"Anak kurang ajar!" desisnya menarik keluar dengan mencengkeram leher kemeja pria di balik kemudi tadi.

"Aku tak bisa melakukan ini lagi," jawab sang pria muda sambil berusaha menepis cengkeraman di lehernya walaupun usahanya belum berhasil karena kini ia didorong ke sisi mobilnya.

Nyeri di leher dan punggung yang menekan mobil tidak sebanding dengan sakitnya hati seorang anak melihat amarah yang membara di bola mata sang ayah.

Ayahnya memang seperti ini. Sekalipun harus melukai seseorang—bahkan anaknya sendiri, ia tidak peduli asalkan keinginannya terpenuhi.

"Sudah sejauh ini dan mulut sialanmu itu dengan mudahnya mengatakan kau ingin berhenti di sini!" Sang ayah menjawab dengan geraman mengingat percakapan dengan sang anak semalam.

Selama ini anaknya yang penurut itu tak pernah satu kalipun membantahnya. Putranya yang manis itu itu selalu menuruti setiap kata yang keluar dari bibirnya.

Karena itu ia cukup terkejut mengetahui sang anak bisa-bisanya mengatakan ingin berhenti di sini. Berhenti ketika ia hampir sampai di garis finish. Berhenti ketika sedikit lagi tujuannya selama ini tercapai.

Sedikit lagi, dan ia akan mendapatkan segalanya.

Erland tersenyum getir, "Ini tidak mudah untukku. Selama bertahun-tahun aku hidup dalam kendali ayah, tak pernah aku merasa hidup ini mudah."

Kendali sang ayah di seluruh aspek kehidupannya membuat Erland hampir tidak mengenali dirinya sendiri.

Ia mengingat dulu sekali, bagaimana tangan ringan sang ayah meninggalkan memar kebiruan di punggungnya ketika nilai-nilai yang di dapatnya dengan susah payah belajar semalaman belum cukup memenuhi kepuasan sang ayah.

My Perfect PoisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang