Suara tumbukan dua benda yang berulang kali bersinggungan memenuhi pendengaran Ilmira ketika mengambil langkah lebih jauh. Melalui pintu yang terbuka di hadapannya, bisa dilihat asal muasal suara itu berasal.
Yakni, Samuel tengah melayangkan pukulan demi pukulan pada samsak tinju yang sejak satu jam lalu sudah menjadi pelampiasan emosi yang menggunung di dadanya.
Sudah hampir satu tahun berlalu sejak terakhir kali Samuel menginjakkan kakinya di ruangan ini. Kini, untuk alasan yang berbeda ia kembali.
Kembali disaat ia mulai tak bisa menahan gejolak yang mendidih di dadanya hingga harus ia lampiaskan pada sesuatu.
Pada samsak tinju yang menjadi korban pelampiasannya, terbayang seseosok wajah yang entah bagaimana masih terus bersemayam di pikirannya. Tak mau pergi.
Kau masih mencintainya? Pertanyaan Erland berkali-kali berputar di kepalanya. Bagaimana ia harus memberi jawaban ketika hati dan akal sehatnya tak lagi sejalan. Sekalipun untuk dirinya sendiri yang juga seringkali bertanya-tanya.
Semakin kencang ia melayangkan bogem mentah, semakin deras pula jalan pikirannya tertuju pada dia yang Samuel coba singkirkan dari kepalanya. Hingga kepalan tangannya terasa nyeri, bayangan wajah polos itu masih tinggal di sana.
"Arghh!!" Sekali lagi Samuel melayangkan tinju sekencang-kencangnya pada samsak dalam upaya menghancurkan bayang-bayang tersebut.
Dari tempatnya berdiri, Ilmira menatap dalam diam Samuel yang kini berdiri tertunduk dengan telapak tangan bertumpu pada lutut. Kedua bahu pria itu terlihat naik turun seiring dengan napasnya yang tersengal.
Perhatian Ilmira teralihkan pada langkah kaki wanita berambut pirang dengan sebotol air dan selembar handuk di tangannya.
Ilmira belum sempat menyembunyikan diri saat kedua mata biru wanita itu menangkap wajahnya. Dilihatnya senyum sinis yang tersungging di bibir si pirang saat Samuel meluruskan tubuh dan menatap kedatangan wanita itu.
"Sharon," ucap Samuel lelah. Sejujurnya dia sedang tak ingin diganggu, oleh siapapun itu. Meski begitu, ia tetap menerima handuk dan air yang diulurkan oleh sang mantan kekasih.
"Sammy." Sharon selangkah lebih dekat pada Samuel yang meneguk air hingga tandas hanya dalam beberapa tegukan.
"Apa yang dia lakukan di tempat ini? Bukankah kau mengurungnya?" Sharon meraih handuk yang disampirkan Samuel di bahunya lalu menyeka keringat dari pelipis Samuel. Mata wanita itu sesekali menoleh tak peduli pada Ilmira yang mematung di depan pintu.
Samuel baru akan menepis sentuhan Sharon pada wajahnya sebelum tatapannya mendarat pada wajah polos tanpa riasan sedikit pun milik sang racun. Meski begitu, berat hati Samuel akui racun itu masih begitu memesona sekalipun hanya tatapan polos yang menghiasi wajahnya.
Sial! Apa yang kupikirkan?! Samuel menggeram mengutuki kebodohannya sendiri.
Untuk menutupi rasa yang berkhianat itu ia memutuskan untuk merilekskan tubuh dan menatap Sharon yang masih mengusap lembut peluh di wajahnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tegur Samuel tajam pada Ilmira dengan enggan menatap wajah racunnya itu.
"Apakah peringatanku saat itu kurang jelas untukmu? Ataukah aku perlu menyeretmu ke basement rumah ini agar kau tak seenaknya berkeliaran dan melancarkan aksimu selanjutnya?" Pria itu belum menurunkan nada tinggi dalam sindirannya.
Sebelum menjawab tuduhan tak berdasar itu Ilmira menggigit bibirnya agar berhenti bergetar karena emosinya yang mulai naik ke permukaan.
"Maka lakukanlah!" jerit Ilmira yang sudah kehilangan kesabaran dan bingung disaat yang bersamaan. Apa yang harus ia lakukan ketika bernapas saja sepertinya sudah sangat salah di mata pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Poison
RomansaSamuel Alan Phillips terpaksa menginjakkan kaki di tempat yang tak pernah ingin dia datangi lagi demi memberi peringatan kepada dalang di balik semua kekacauan yang mencemarkan nama baik keluarganya. Kekacauan yang juga mengancam akan mendepaknya da...