[50] Terungkap

2.5K 97 20
                                    

"Apa yang kau lamunkan?" Di sofa tepat di samping Ilmira, Erland menghempaskan tubuhnya.

Sebenarnya, sudah kira-kira lima menit lamanya Erland berada di belakang Ilmira, menyaksikan bagaimana perempuan itu menggonta-ganti siaran televisi tanpa henti seolah-olah tak ada satupun yang menarik minat perempuan itu.

Walaupun demikian, Erland yakin pikiran Ilmira tak pernah berada di sini. Siapapun bisa dengan mudah menebak hanya dengan melihatnya saja.

Erland menguatkan dirinya untuk terus berusaha mendekati perempuan itu walau usahanya selama ini bisa dibilang; sia-sia.

Tapi, Erland tak melihat adanya halangan lain untuk merebut hati Ilmira selain—dinding tak terlihat yang dibangun gadis itu—yang membuat Ilmira terasa begitu tak terjangkau.

Dan benteng itulah yang sesungguhnya lebih sulit untuk dikalahkan dibanding rival yang wujudnya terlihat.

Berengsek, Samuel. Sepupunya itu rupanya sudah menyakiti dan menyia-nyiakan Ilmira hingga perempuan itu begitu rapuh sampai Erland tak sampai hati melihatnya terluka lebih lama.

"Tak ada," jawab Ilmira singkat, bahunya mengendik pelan. Tubuhnya maju untuk menaruh remot di meja.

"Bohong," tuduh Erland sementara wajahnya berlumur senyum ketika mengucapkan tuduhannya yang berbalut nada ceria.

Tubuh pria itu menyamping menghadap Ilmira, terang-terangan meneliti wajahnya. Berniat mencari kejujuran yang tersembunyi di sana.

"Apakah tak ada satupun yang pernah mengatakan kalau kau adalah pembohong yang buruk?" tanya pria itu masih dengan senyum lebar di pipinya lalu mendapat jawaban gelengan pelan Ilmira.

"Kau merindukan rumah?" tebak Erland kemudian, tepat pada sasaran.

Rumah. Ilmira menahan napasnya tatkala menerka-nerka sudah berapa lamakah ia meninggalkan rumah.

Meninggalkan kehidupan di tempat ia berasal. Meninggalkan orang tuanya, meninggalkan sahabatnya. Astaga, Hani! Gadis itu pasti kalang kabut karena Ilmira tiba-tiba menghilang dari peredaran.

"Bolehkah aku meminta sesuatu?" pinta Ilmira tiba-tiba teringat sesuatu dan menyesal mengapa tak ia lakukan sejak lama.

"Anything," jawab Erland lembut, benar-benar terdengar seolah ia rela memberikan apapun tanpa terkecuali.

"Ponselmu, bolehkah aku pinjam sebentar?" Ragu-ragu Ilmira bertanya. Diselipkannya sejumput rambut di balik telinga.

Bukannya menjawab, Erland berdiri seraya mengulurkan sebelah tangannya di depan wajah Ilmira. "Mengapa kita tidak mencari satu untukmu?"

Ditatapnya sebelah tangan Erland yang menunggu di hadapannya juga senyum ramah yang tak pernah meninggalkan wajah pria itu. Ilmira membutuhkan waktu hampir tiga menit lamanya menimbang ajakan Erland.

Dan benar saja, tak sampai setengah jam kemudian Ilmira sibuk dengan ponsel baru di tangannya. Atau mungkin sibuk dengan pikirannya sendiri.

Ya ampun. Dia tak mau merepotkan Erland lebih jauh. Ya ampun lagi. Ditatapnya ponsel canggih merk ternama di tangannya.

"Ini—" Ilmira terlihat ragu. "Ini terlalu berlebihan, Erland." Dia mengangkat ponsel keluaran terbaru yang pasti harganya tak akan cukup dibayar lunas dengan gaji satu bulan lamanya ia memeras keringat di kantor tempatnya bekerja dulu.

"Tidak," tukas Erland tak setuju. "Warnanya sangat cocok untukmu."

Yah, itu benar. Rose gold pilihan yang sangat tepat untuk seorang perempuan lembut seperti Ilmira. Dan, harganya sangat-sangat mahal, pekik Ilmira dalam hati.

My Perfect PoisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang