Semilir angin sepoi membelai wajah ayu wanita dengan bekas air mata yang telah mengering di pipinya. Wanita itu merasa sedih dan menyesal pada dia yang sudah meninggalkan dunia fana untuk melangkah menuju alam yang kekal abadi nun jauh disana. Alam yang sudah tak terjangkau lengan-lengan tanpa daya umat manusia.
Menatap wajah polos tak berdaya bayi kecil di pangkuannya membuat sang wanita merasa ingin ikut mengubur dirinya sendiri di bawah sana.
Ya Tuhan, anak ini bahkan masih terlalu kecil untuk sekedar mengingat wajah ibunya, lirih Nisrina dari dalam hatinya. Mengusap sekali lagi setetes air mata di pipi mengamati bayi kecil yang melonjak-lonjak senang di pangkuannya.
Hanya dua tahun, kesempatan yang diberikan Tuhan untuk Nirina—saudara kembarnya—menimang dan mengasihi buah hatinya sebelum Tuhan memutuskan untuk memanggilnya lebih dulu.
Tanah merah itu masih basah dan dipenuhi taburan bunga ketika Nisrina mengangkat tangan menyentuh batu nisan dan bergumam lirih, "Aku akan menjaga dan mengasihi putrimu layaknya putriku sendiri, Kak. Tenanglah di sana. Putrimu aman bersama kami. Terima kasih—"
Lirihannya terputus oleh sesuatu yang tiba-tiba terasa mencekat tenggorokannya.
"—terima kasih karena sudah memberiku kesempatan untuk menimang buah hati yang tidak pernah kumiliki." Kedua tangannya memeluk lebih erat bayi mungil yang masih meloncat-loncat di pangkuannya.
"Sayang..." Sayup-sayup terdengar seseorang memanggilnya namun belum cukup mampu menembus lamunan untuk membuatnya tersadar.
"Sayang..." Akhirnya lamunannya terputus. Ia menghembuskan napas keras-keras saat seluruh oksigen seolah terenggut dari dadanya. "Oh," gumamnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Adam.
"Hari ini tepat 23 tahun Nirina meninggalkan kita, meninggalkan putrinya," jawab Nisrina menatap dengan senyum tipis pada selembar foto dia dan saudara kembarnya. Satu-satunya foto bersama Nirina yang ia miliki. Foto yang selalu disembunyikannya dari Ilmira. Putrinya itu bahkan tidak pernah tahu jika Nisrina memiliki saudari kembar.
Alasannya satu, ia hanya tak mampu jika Ilmira melihat foto tersebut lalu bertanya-tanya siapakah Nirina. Ia sungguh tak tega memberitahu jika ibu kandung putrinya tersebut sudah meninggal dunia—dalam kondisi yang cukup mengenaskan.
Nisrina memang salah karena menyimpannya dari Ilmira yang berhak mengetahui kebenarannya dan sekarang, dia menyesali kekhilafannya.
***
Sambaran petir beserta kilat yang menggelegar di langit bagaikan cemooh yang dipersiapkan alam untuk seorang pria dengan wajah muram—bekas terjaga semalaman.
Insomnia dadakan mengancamnya sepanjang malam hingga menyebabkan pikirannya melanglang-buana tanpa tentu arah.
"Bibi berhutang banyak penjelasan padaku." Samuel mengaduk sarapan di piringnya tanpa ada niatan untuk melahapnya. Dia tidaklah lapar, pun tidak juga haus meskipun setetes air belum memasuki tubuhnya sejak semalam.
Lily menyimpan sendok garpunya perlahan lalu mengusap bibirnya dengan serbet untuk kemudian memusatkan perhatian pada Samuel yang sepertinya sudah selesai memporak-porandakan sarapannya.
"Tentu saja." Lily juga sudah siap dengan semua pertanyaan yang mungkin akan disemburkan Samuel. Yang terburuk sekali pun.
"Kemanakah Bibi Nirina, sehingga racun itu tumbuh besar bersama Tuan Adam dan istrinya, Nisrina?" Kening Samuel mengernyit. Nama yang serupa dan ia tidak pernah menyadarinya sampai hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Poison
RomanceSamuel Alan Phillips terpaksa menginjakkan kaki di tempat yang tak pernah ingin dia datangi lagi demi memberi peringatan kepada dalang di balik semua kekacauan yang mencemarkan nama baik keluarganya. Kekacauan yang juga mengancam akan mendepaknya da...