Setelah menghabiskan hampir satu jam berkubang dalam tangis yang memporak-porandakan pertahanan tubuhnya, Ilmira berusaha untuk menegakkan kepala walaupun sulit.
Dia tahu, dan dia tidak bisa lebih lama menenggelamkan diri ke dalam kesedihan karena seluruh air mata yang telah ia teteskan, semua kekecewaan yang ia rasakan, tak akan merubah apa yang sudah dituliskan takdir.
Dia hanya tidak percaya jika berita mengejutkan yang tak sengaja ia dengar rupanya semakin menyempurnakan drama pelik kehidupannya yang sudah menyerupai mega sinetron yang setiap hari diputar di televisi.
Mengapa, mengapa dan mengapa. Begitu banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya kini.
Mereka, prioritas utama di hidupnya. Mereka, yang selama ini ia panggil Ayah dan Ibu. Mereka, yang selama ini ia anggap sebagai separuhnya, orang tuanya, ternyata bukanlah mereka yang seperti ia kira.
Ilmira merasa berada pada posisi pepatah 'Sudah terjatuh, tertimpa tangga pula'. Ya, kenyataan yang baru ia ketahui setelah seperempat abad hidup di bumi ini menambah daftar panjang masalah demi masalah yang seolah tak bosannya menyambangi dirinya.
Ilmira ingin melarikan diri, tapi sungguh, dia tidak tahu harus pergi ke mana ketika dia bahkan tidak tahu ia kini berada di mana.
Ya, dia tahu dia berada di kediaman Phillips. Tapi Demi Tuhan, di Inggris! Bermimpi berada di negara ini saja, dia tidak pernah.
"Seharusnya kau naik ke lantai paling atas mansion ini jika kau berniat ingin melompat dan melanjutkan usahamu di kamar mandi itu. Meloncat dari lantai ini hanya akan membuat lengan atau kakimu terkilir."
Sudah cukup waktu untuk Samuel terdiam menyaksikan Ilmira bersandar dan merenung di pagar balkon dengan pandangan ke bawah.
Dia tahu kata-katanya mungkin akan menyulut kemarahan bagi wanita itu. Tapi justru itulah salah satu yang ia rindukan. Kemarahan Ilmira yang selalu terasa menyenangkan untuknya.
Mendengar suara Samuel yang terdengar jauh dari kata serius membuat Ilmira membalikkan tubuhnya dan bersedekap waspada di ujung balkon. Ilmira menatap was-was Samuel yang sedang menyandarkan sebelah tubuhnya di bingkai pintu balkon.
Sejak kapan kau masuk, dan apa maksudmu?! pekik Ilmira dari dalam hatinya, rupanya ia terlalu serius merenung hingga tak mendengar langkah kaki Samuel yang terlihat menunggu jawabannya itu.
Apakah si Phillips sialan itu merasa terganggu akan kehadirannya di sini lalu menyuruhnya melanjutkan usaha bunuh dirinya dengan meloncat dari lantai tertinggi mansion ini?!
"Kau tidak suka akan kehadiranku di sini, Phillips?" sindir Ilmira sengit. "Baiklah, aku menerima saranmu untuk meloncat dari atas bangunan ini. Tunjukkan padaku jalannya dan, selamat tinggal," sambungnya, mulai melangkahkan kakinya menuju pintu kamar.
"Hei, kau sensitif sekali," seru Samuel lembut seraya menahan langkah Ilmira dengan cara memeluk tubuh wanita itu dari belakang.
"Aku hanya ingin melanjutkan usahaku untuk mati seperti saranmu tadi, Phillips!" pekik Ilmira, terpaku merasakan sepasang tangan Samuel yang melingkari perutnya.
Mendengar kata laknat itu, Samuel berdecak. "Kau ingin aku membungkam bibirmu lagi dengan cara kesukaan kita, Ilmira?"
Sebelah telapak tangan Ilmira refleks terangkat menutup bibirnya sebelum ia berdesis, "Hentikan, Phillips! Jika kau menginginkan aku pergi maka cukup bicaralah kepada Ayahmu agar dia mengembalikanku ke Jakarta. Oh, sejak kapan kau memanggilku dengan namaku? Bukankah aku 'racun' yang sangat kau benci itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Poison
RomansaSamuel Alan Phillips terpaksa menginjakkan kaki di tempat yang tak pernah ingin dia datangi lagi demi memberi peringatan kepada dalang di balik semua kekacauan yang mencemarkan nama baik keluarganya. Kekacauan yang juga mengancam akan mendepaknya da...