[10] Terlena

1.9K 173 108
                                    

"You invade my thoughts,
i just can't escape you."

-Samuel A. Phillips-

***

Raut wajah perempuan itu menegang menatap seseorang yang tak henti berkicau di depannya. Saat ini, tak ada yang bisa Ilmira lakukan selain pasrah menerima ke mana nasib akan membawanya.

"Ini sudah yang kedua kali, Mira. Dua kali klien kita melaporkan keberatan terhadap draft kasar yang kau susun."

Tepat seperti dugaannya, Ny. Wijaya memanggilnya karena masalah ini. Ilmira mengakui bahwa pikirannya sedang terpecah belah, konsentrasinya berhamburan, fokusnya berantakan, termasuk ketika ia sedang menjalankan kewajibannya di perusahaan ini.

"Aku tahu kau sedang berada dalam masa sulit karena pemberitaan itu, tapi bukankah kau sendiri yang pernah berkata bahwa apa yang sedang terjadi pada kehidupan pribadimu tidak akan mempengaruhi kinerja kerjamu?"

Ilmira menelan ludahnya karena gugup. Ya, dia memang pernah berkata seperti itu. Saat semuanya belum sekacau sekarang!

Bagaimana bisa dia memusatkan pikirannya pada pekerjaan di saat berita laknat yang melibatkan namanya, semakin berkembang tak tentu arah.

Di mana, berita yang sedang tersebar menyebutkan bahwa Jonathan Phillips kini mulai berani memboyong Ilmira ke kediamannya. Tidak lagi di hotel atau semacamnya.

Bajingan! Itu adalah fitnah yang parahnya lagi-lagi menjadi pembicaraan panas, padahal tanpa menyematkan satu foto pun yang menjadi bukti karena ia memang belum pernah bertemu lagi dengan Jonathan setelah makan malam itu!

Tapi, lihatlah. Orang-orang justru percaya begitu saja pada kabar burung yang tidak jelas juntrungannya itu?!

"Aku harap kau mencurahkan konsentrasimu pada proyek yang sedang kau tangani kali ini. Namamu semakin terkenal dalam artian negatif, kau sadar itu? Berdo'alah semoga saja para petinggi masih terus akan mempertahankanmu di perusahaan ini," tutup Ny. Wijaya meninggalkan Ilmira yang syok pada kemungkinan ia harus mengucapkan selamat tinggal pada singgasananya di perusahaan ini.

***

Saat sebagian besar para pekerja sedang mengistirahatkan tubuh dan pikiran setelah bergelut dengan kesibukan sejak pagi tadi, Ilmira lebih memilih mengurung diri di ruangannya. Mengabaikan perut keroncongan yang belum diisi sejak semalam.

Keheningan pekat yang menyelimuti ruangan itu dipecahkan oleh isakan yang terlepas dari bibirnya yang bergetar.

Seandainya bukanlah Neraka—ancaman bagi manusia yang menghabisi nyawanya sendiri, mungkin jiwa putus-asa Ilmira akan memilih jalan pintas tersebut sebagai solusinya, walaupun jelas sesat.

Dan, alangkah baiknya jikalau cincin yang bisa menghilangkan visual pemakainya dalam film 'The Lord of The Rings' benar-benar ada, karena rasa-rasanya ia ingin memakai cincin itu untuk lenyap dari muka bumi!!

Ilmira menggigit bibir bawahnya untuk meredam isakan yang terasa semakin mencekat di tenggorokan.

Dia benci menjadi perempuan rapuh. Dia benci ketika air mata menggenang di pelupuk kemudian jatuh ke pipinya seperti ini. Dia benci selalu menjadikan tangis sebagai pelariannya.

Di tengah rintihannya, Ilmira bersyukur setidaknya setengah populasi kantor ini mungkin sedang berada di kafetaria ketika ia sudah tidak bisa membendung lagi tanggul air matanya.

Demi Tuhan, dia sudah seperempat abad! Tapi sekarang dia sedang menangis, meraung dan merajuk layaknya balita!

Siapa pun yang mendengar, pasti terenyuh mendengar tangis yang sarat keputus-asaan itu. Begitu pula dengan seseorang yang kini sedang berdiri mematung di pintu menatap Ilmira yang tersedu-sedan.

Seseorang dengan berbagai macam dugaan berkecamuk dalam pikirannya.

***

Samuel mengepal tangan yang berada di kedua sisi tubuhnya, dengan kedua mata yang menatap lurus pada rambut hitam dan punggung mungil yang berguncang itu.

Entah apa yang sedang dirasakannya saat ini. Tak pernah terlintas di benaknya akan menemukan racun itu dalam kondisi seperti ini. Rapuh dan sepertinya membutuhkan bahu seseorang untuk bersandar.

Dan, Samuel menyesali karena hal itu sedikit menyentuh jiwa pejantan dan sisi humanisnya.

Jujur saja, laki-laki mana, sih, yang tidak tergoda untuk membawa perempuan yang sedang menangis itu ke dalam pelukan?

Berusaha menenangkan dan menghapus jejak air mata dari pipinya. Lalu mengatakan kata-kata klise, bahwa semua akan baik-baik saja.

What the hell is going on inside my head?!! maki Samuel meneriaki kepalanya sendiri.

Hal-hal remeh tersebut hanya ada dalam opera sabun menahun di televisi! Namun, terkutuklah karena Samuel tergoda untuk melakukan hal remeh tersebut.

Tidak, tidak. Ini tidak benar. Ia bergidik memikirkan kebenaran perkataan yang selalu David ucapkan bahwasannya pengaruh racun sialan itu perlahan tapi pasti mulai melucuti akal sehatnya.

Samuel menggeram karena sadar jika perempuan itu mulai mendominasi siang-malamnya dengan semua tingkah dan gerak-geriknya, dengan berbagai macam riak ekspresi yang ditampilkan wajah cantiknya.

Saat perempuan itu merengut tak suka, gerutuannya, bahkan kemarahan dan luapan emosi racun itu anehnya malah terasa menyenangkan untuknya. Dengan enggan Samuel mengakui semua itu seolah menjadi candu yang selalu ia nanti kehadirannya.

Dan yang paling membuat geram, sang racun membuat Samuel berdiri di sini. Menghampiri perempuan itu, lagi, lagi dan lagi. Seperti ngengat yang selalu mengejar cahaya matahari. Sialan.

Melirik dinding beton di sebelahnya, membuat laki-laki itu tergoda untuk membenturkan kepalanya ke sana demi upaya menghilangkan pikiran-pikirannya yang tak tahu diri. Yang kini berkhianat pada akal sehatnya.

Oke, ia harus memulihkan konsentrasinya dan memantapkan niatnya semula untuk menyeret racun ini ke muka umum dan meluruskan pemberitaan yang semakin panas karena berita terbaru.

Samuel tidak cukup tahu kebenaran berita itu dan ia harus mencari tahu dan bertanya langsung pada Ilmira yang masih tenggelam dalam isaknya.

Sebelum membuka suara, laki-laki itu berdeham pelan pada Ilmira yang seketika menghentikan sesenggukannya dan membeku.

"Aku tidak pernah menemukan seseorang yang memproduksi air mata sebanyak itu. Kau tahu, air matamu mungkin bisa mengairi kolam renang di rumahku."

Tibalah giliran Samuel yang mematung saat mata sembab Ilmira yang terlihat sendu, menangkap matanya kemudian menahannya di sana.

God! Samuel sangat tidak suka saat-saat seperti ini. Saat ia kehilangan seluruh pengendalian dirinya untuk berpikir jernih dan lurus.

Demi Tuhan, bagaimana bisa racun itu terus-menerus menggerogoti pertahanan dirinya seperti ini?!! Hanya melalui tatapan!

Samuel takut membayangkan jikalau suatu saat dia yang akan bertekuk lutut di kaki racun itu. Hell, jangan!!

Kebekuan kemudian mengambil alih dan menciptakan sengatan listrik di antara dua orang yang saling melempar tatapan dalam tak terbaca itu.

Hingga akhirnya Samuel, antara semu dan nyata, kemudian menemukan kedua kakinya begitu saja melangkah mendekat, mencekal lalu memutar tubuh Ilmira dan memenjarakan tubuh lembut perempuan yang masih berlinang air mata itu di dalam dekapannya.

TBC

***

Si Sam baper wkwk XD Katanya remeh ck

Makasih udah sempetin mampir see u soon!

Sincerely,
SarahRS

My Perfect PoisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang