[16] Puppet

1.6K 160 67
                                    

Masih belum move on dari fotonya Samuel di part sebelumnya wkwk Erland juga ganteng sih tapi hhi *apasih* XD

Vote dan komen dinanti selalu ❤
================================

"It's like you're screaming
but no one can hear."

-Ilmira N. Maheswari-

***

Selama seperempat abad hidup dan bernapas di atas muka bumi, untuk kali pertama Ilmira merasa seolah-olah seisi dunia hancur di sekelilingnya.

Sangat menyakitkan melihat bagaimana separuhnya—yang mana adalah kedua orang tuanya, merupakan pemeran utama atas kehancuran dunianya, juga mimpi-mimpi dan masa depannya.

Padahal sedari kecil, Ilmira begitu memuja kedua orang tuanya. Menasbihkan mereka sebagai rumahnya, dunianya, poros hidupnya.

Hingga tak ada lagi yang dia inginkan di muka bumi ini selain melihat senyum terukir di sana. Di bibir kedua orang tuanya.

Dia rela melakukan segalanya—termasuk apa yang tidak ia sukai, hanya untuk membuat keduanya bangga memiliki dia.

Tapi sekali ini, salahkah dia bosan menjadi anak baik? Bosan menjadi anak penurut. Dan, dia tidak mau menjadi boneka, menjadi puppet yang bergerak sesuai arahan kedua orangtuanya untuk memenuhi ego mereka.

Karena jelas, tanpa hati, mereka tega menukar Ilmira—buah hati mereka dengan setumpuk uang, yang tak lebih dari seonggok benda fana. Benda mati, tanpa adanya nyawa, apalagi hati.

Ironis, bukan? Aku tidak jauh lebih berharga dibanding lembaran kertas!

Sungguh, ia lebih memilih terlahir pada zaman primitif.

Atau zaman purba tanpa tetek bengek macam uang, teknologi atau bahkan media sosial yang membuat dia kini bagaikan berdiri di atas seutas rambut dan terancam akan tergelincir jatuh ke dasar jurang.

Telapak tangan Ilmira mengepal bersamaan dengan gejolak kekecewaan yang seolah membanjiri tiap inchi tubuhnya saat sekali lagi menatap sorot yang tak ia kenali dari dua pasang mata di hadapannya.

"Ingat statusmu, Mira. Jonathan Phillips pasti akan sangat kecewa dan marah karena kau bermain-main dengan putranya di belakangnya!" tegas Adam memberi peringatan keras pada sang putri yang—tanpa pria paruh baya itu ketahui—merasa hatinya tercabik-cabik oleh cakar yang digoreskan melalui kata-kata sang Ayah.

Mereka bahkan lebih memikirkan perasaan Miliarder itu daripada putri mereka, yang memiliki hati yang juga bisa terluka.

Ilmira ingin berteriak lantang, menyuarakan isi hatinya. Tapi sergapan nyeri pada dadanya malah membuat perempuan itu tersedak sesuatu yang seharusnya terwujud menjadi isak yang setengah mati ia tahan.

"Seperti itukah?" bisik Ilmira hampir tidak menemukan suaranya. "Apakah yang ada di pikiran Ayah dan Ibu hanya Miliarder itu? Sedikit saja, apa kalian tidak memikirkan perasaanku?"

Siapa saja yang mendengar pasti tahu, barisan kata yang Ilmira ungkapkan menyelipkan kepedihan di dalamnya.
Jika Adam dan Nisrina mau memperhatikan, kedua bola mata sang putri juga menyiratkan hal yang sama.

Ah, mereka pasti bisa melihat, namun kekerasan hati mungkin sudah membutakan keduanya.

Diamnya sepasang paruh baya itu dengan berat hati Ilmira anggap sebagai jawaban. Jawaban yang menerbitkan senyum kecut di bibirnya dan mengantarkan hatinya pada ambang kehancuran.

My Perfect PoisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang