Memang benar, tidak mudah bagi seseorang untuk mencintai apa yang pernah ia benci.
—Samuel A. Phillips
***
Sekali lagi, Samuel mengedarkan pandangan memperhatikan kemegahan kediaman keluarga Phillips lalu berkedip ketika benaknya menyadari sesuatu.
Rumah megah layaknya istana ini, terasa begitu dingin dan sunyi. Bukan hanya sunyi karena waktu yang saat itu memang sudah hampir menginjak pukul sebelas malam, tapi juga sunyi dalam artian lainnya.
Perabotan mewah juga penghuni di dalamnya tidak serta merta membawa kehangatan bagi Samuel.
Tak ada lagi gelak tawa dan canda seperti dulu, ketika yang Samuel kecil pahami hanyalah bermain. Juga limpahan kasih sayang dari orang tuanya yang tak berhenti mengalir layaknya air.
Perubahan demi perubahan mulai terasa setelah kepergian Evelyn. Terutama Jonathan, yang melimpahkan kesedihannya pada pekerjaan. Menenggelamkan dirinya pada kesibukan di kantor hingga nyaris melupakan segalanya.
Seolah hidup yang tersisa hanya melulu bermuara pada dirinya dan kubangan dukanya. Seolah ia kembali sendiri. Padahal sang putra, jelas-jelas masih sangat membutuhkan perhatiannya.
Karena kesibukan Jonathan yang berkepanjangan tersebut, terciptalah bentangan jarak semu dengan Samuel, yang tak lagi merasakan kasih sayang yang tersisa dari sang Ayah.
Decakan keras dari bibir Samuel menghentikan pemikirannya sendiri akan kebobrokan hubungannya dengan Jonathan. Yang belakangan ini semakin memanas karena kehadiran seorang wanita. Yang tak Samuel sangka, membuatnya rela melepas jubah kebesaran keluarganya demi membebaskan Ilmira dari bayang-bayang masa depan yang tak wanita itu inginkan.
Samuel tak yakin apakah ia akan kembali menginjakkan kaki di rumah ini setelah berhasil melewati malam ini. Maka, sebelum benar-benar pergi, tak ada salahnya ia membuka kembali sedikit ingatannya melihat sudut-sudut rumah yang mau bagaimana juga pernah menjadi saksi bisu kenangan singkatnya yang indah bersama sang ibu.
Kening Samuel berkerut, ragu-ragu melangkah mundur saat samar-samar mendengar gemuruh ketukan tak sabar di ujung lorong. Semakin ia memfokuskan perhatian, semakin meningkat intensitas ketukan tersebut.
Tanpa menunggu lama, Samuel bergegas menghampiri sumber suara, tak bisa menyembunyikan rasa penasaran akan sesuatu yang mungkin saja bisa menggagalkan rencananya malam ini.
"Nora, apa yang kau lakukan di sini?!" Samuel hampir meneriaki pelayan paruh baya di depannya yang terlihat panik ketika pintu yang menguncinya dari luar terbuka.
Nora melangkah keluar dengan gemetar. Matanya menyapu sekitar dengan waspada.
Melihat bibir pucat Nora bergetar karena hampir tak sanggup menjawab, Samuel mengerutkan kening dalam keheranan yang luar biasa.
"Aku—" bisik Nora menatap takut pada Samuel yang menunggu walaupun ketidaksabaran terpancar jelas dari riak wajah sang tuan muda.
"Aku sedang berjalan di lorong hendak menuju kamar Nona Ilmira karena Tuan Jonathan sangat ingin segera bertemu dengannya ketika sepasang tangan menarikku dan membekapku. Aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu, Tuan," lirihnya takut-takut dengan pandangan menerawang.
Mendengar pernyataan ganjil tersebut, tanpa pikir panjang Samuel membalikkan tubuh dan bergegas pergi meninggalkan Nora yang mulai mendapatkan kekuatannya kembali untuk menyusul kemana sang tuan muda pergi.
Tanpa perlu berpikir lebih banyak, Samuel yakin, ada sesuatu yang tidak beres setelah mendengar pernyataan Nora tadi walau ia sendiri tidak tahu darimana keyakinan itu berasal.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Poison
RomanceSamuel Alan Phillips terpaksa menginjakkan kaki di tempat yang tak pernah ingin dia datangi lagi demi memberi peringatan kepada dalang di balik semua kekacauan yang mencemarkan nama baik keluarganya. Kekacauan yang juga mengancam akan mendepaknya da...