[42] Fakta Pertama

1.1K 78 3
                                    

Detak jarum jam di dinding bergulir lambat ketika diantara mereka bertiga hanya ada senyap yang semakin merambat.

"Aku pasti salah dengar." Samuel membuka suara, memecah keheningan yang semula menguasai seisi penjuru ruangan. Kebingungan jelas tercetak dari tiap tutur katanya.

"Tidak," tukas seseorang, masih pada posisinya semula. Berdiri dengan senyum tipis menghiasi wajah aristokratnya. Dia sudah begitu sabar menunggu saat ini tiba. Saat dimana ia harus membuka sekeping rahasia yang selama ini disimpannya.

"Kau tidak salah dengar, Sammy. Dan aku pun tidak salah bicara," sambungnya, masih setia dengan seulas senyum.

Samuel tak menimpali, walau kediamannya itu berarti lampu hijau bagi seseorang di hadapannya untuk melanjutkan ucapannya.

"Selama ini, semua orang salah menyangka. Termasuk dirimu. Kau tahu betapa Ayahmu mencintai ibumu. Sehingga tak mungkin ia melabuhkan hatinya pada wanita lain. Sekali pun ibumu sudah tiada."

"Jadi?" tanya Samuel singkat.

"Bukan Ayahmu yang akan bersanding dengan Ilmira di altar nanti."

"Lalu siapa?" Astaga, Samuel merasa bodoh karena hanya bisa mengeluarkan sepatah-dua patah kata padahal ia sadar pernyataan yang akan dia dengar bagaikan bom waktu yang siap meledak kapan saja.

"Kau."

Dan akhirnya bom waktu itu pun meledak. Satu kata tersebut sudah cukup membuat Samuel tak berkedip beberapa saat. Membungkam bibirnya hingga ia nyaris tak bisa menyuarakan jawaban.

Pikirannya melayang jauh, meleburkan segala sesuatu di sekelilingnya hingga menyisakan dirinya dan bayangan dirinya di masa lalu. Samuel satu bulan yang lalu—Samuel yang baru saja menyatakan cintanya—mungkin akan melonjak senang karena fakta mengejutkan tadi.

Tetapi sekarang, saat kedalaman perasaannya pada Ilmira menguap entah kemana, hanya satu yang bisa ia simpulkan. Semua ini pasti lelucon. Ayahnya tidak mungkin membuat semuanya berlarut-larut bagai opera sabun yang tak ada habisnya.

"Bibi pasti bercanda," tandas Samuel setelah jeda beberapa saat.

Lily menegakkan tubuh. "Tidak," tegasnya sungguh-sungguh.

Dia tak mungkin sebercanda ini pada rahasia yang sudah dijaganya selama bertahun-tahun sampai-sampai dia merasa sedang menanggung beban tak terlihat di pundaknya karena sudah menangguhkan sumpahnya untuk tidak membuka rahasia ini sebelum saatnya tiba.

"Bukan salahmu jika mengira ayahmu akan menikahi Ilmira. Memang seperti itulah tujuan Ayahmu. Membuat semua orang mengira jika dialah yang akan menikahi wanita itu."

Wajah Samuel tertekuk dalam, "Mengapa dia tak langsung menjodohkanku saja daripada membuat semuanya jadi berbelit-belit seperti sekarang ini?"

"Apa kau mau dijodohkan, Samuel?" tanya Lily telak. Paham bahwasannya jiwa muda keponakannya yang satu ini pasti tersentil jika disangkut-pautkan dengan makhluk Tuhan yang bernama wanita. Apalagi ia juga tahu jika sang putra—Erland, pernah menikung Samuel hingga keduanya sempat bersitegang dan saling ingin mematahkan tulang satu sama lain.

"Lantas, mengapa harus wanita itu? " tanya Samuel berjuang untuk tidak terlihat penasaran.

"Apakah kau ingat, Samuel, Bibi Nirina—teman baik ibumu di Jakarta?" Lily tercenung sesaat. "Ah, mungkin kau sudah lupa karena sudah sangat lama sekali—"

"Aku ingat," potong Samuel dengan pandangan menerawang. Mencoba menggali lembaran ingatan yang tumpang tindih dalam lemari pikirannya dan menemukan satu, samar-samar ingatannya tentang suatu hari di Jakarta.

My Perfect PoisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang