"I'm scared as hell to want you. But here i am, wanting you anyway."
-Samuel A. Phillips-
***
"Apa yang kau lakukan di sini?" bisik Samuel, jatuh terduduk ke atas kursi di sebelah ranjang seolah kursi tersebut memang disediakan untuknya yang mendadak kehilangan kemampuan menyeimbangkan diri.
Kedua mata Samuel merayap naik menelisik tiap inchi wajah cantik yang meredup di depannya. Memastikan jika benar, racun-nya berada dalam satu tempat serta bernapas di udara yang sama dengannya.
Kepala Samuel menggeleng samar, berharap apa yang dilihatnya hanyalah angan belaka. Hanyalah ilusi untuk sekejap mengobati rasa yang menggebu di dadanya.
Samuel yang putus asa, sekali lagi berharap semua yang dilihatnya hanyalah bayangan semu hasil dari kerja keras pikirannya yang tak bisa menyembunyikan lebih lama kerinduannya pada sosok yang tengah terbaring dengan cairan infus masih mengaliri tubuhnya.
Dengan mata nanar pria itu memajukan kepalanya, menyadari helaan napas teratur yang diembuskan sang racun merupakan bukti jika kehadiran wanita itu bukanlah angan semata.
Jemari sebelah tangannya terulur mengelus ragu-ragu wajah Ilmira. Lembut. Sama seperti kali pertama ia menyentuh paras yang pernah membuatnya terpesona itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" ulangnya dengan suara yang menyerupai bisikan.
Samuel tidak mengharapkan jawaban. Karena ia tahu bibir pucat yang tengah ia pandang itu tidak akan menyuarakan satu katapun untuk membalas pertanyaannya.
Jemari Samuel masih bertahan di sana, perlahan bergerak turun mengelus bibir pucat Ilmira dengan ibu jarinya.
Bibir inilah yang pernah menghiburnya ketika adu mulut tak pernah absen mengisi kebersamaan mereka. Bibir inilah yang—well, pernah membuatnya mabuk kepayang, pernah membuatnya kehilangan kendali untuk tidak mencecap manis yang terpatri di sana.
Dan sekarang, setelah sekian menit memandang wajah racun-nya, jangan salahkan ketika Samuel kembali kehilangan akal sehat karena begitu saja mendaratkan bibirnya di atas bibir wanita yang tetap bergeming sekali pun Samuel memperdalam sentuhannya.
Oh, hanya ia dan Tuhan yang tahu betapa kerinduan begitu mencekik dadanya. Rindu yang baru saja ia sadari ada.
"Bangunlah..." pinta Samuel, melepas ciumannya, menikmati embusan napas Ilmira yang terasa hangat di pipinya karena Samuel tidak sepenuhnya menarik wajahnya menjauh.
"Bangunlah dan katakan mengapa kau berada di sini. Mengapa kau datang di saat aku ingin melupakanmu? Kau tidak tahu bukan, dengan melihatmu saja membuatku ingin memilikmu?!" sambungnya dengan suara tercekat, benar-benar menarik wajahnya menjauh setelah mendaratkan lagi kecupan singkat di bibir Ilmira.
Bibir Samuel mengembang membentuk senyum kecut. Huh, bagaimana bisa ia mendadak berubah konyol berharap racun-nya terbangun karena ciuman yang ia berikan. Ilmira bukanlah putri tidur yang terbangun setelah sang pangeran menghadiahinya sebuah ciuman manis.
Yang benar saja. Kisah yang tercipta di antara mereka tidak seindah dan sesimpel itu. Sial! Mengapa Tuhan harus menjebaknya dalam kondisi ini?! Samuel yakin semesta tengah bersorak padanya yang benar-benar gila karena tak bisa keluar dari lubang yang sudah ia gali sendiri.
Samuel bangkit dari duduk dan mondar-mandir di depan jendela dengan ponsel di sebelah telinganya. "Apa yang sedang ia rencanakan?" Tanpa salam, tanpa basa-basi, seperti biasa Samuel menembakkan pertanyaan sebelum memberikan kesempatan lawan bicaranya mengucapkan sepatah kata pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Poison
RomanceSamuel Alan Phillips terpaksa menginjakkan kaki di tempat yang tak pernah ingin dia datangi lagi demi memberi peringatan kepada dalang di balik semua kekacauan yang mencemarkan nama baik keluarganya. Kekacauan yang juga mengancam akan mendepaknya da...