[17] Debaran

1.7K 167 89
                                    

Buat yang kemarin2 bilang part sebelumnya pendek, ini aku kasih lebih panjang sikiiiiit, moga gabosen hehe

Vote dan komennya boleh? ❤
================================

"With you, I ignored the warning signs."

-Ilmira N. Maheswari-

***

Siapa pun pasti tak rela melepas sesuatu yang sudah mati-matian diperjuangkan. Sesuatu yang juga susah payah dipertahankan. Jika boleh diibaratkan, di mana kita sudah berjuang hingga titik darah penghabisan untuk mendapatkannya.

Itulah yang berkecamuk di kepala Ilmira dua hari belakangan. Dua hari di mana ia berada pada titik paling kritis di hidupnya.

Bimbang dalam menentukan pilihan saat kelanjutan nasibnya dipertaruhkan.

Antara melepas profesi berharganya, pangkal cita-citanya—sebagai bentuk bakti seorang anak pada orang tuanya. Atau mempertahankan profesinya itu demi melanjutkan mimpi walau namanya terancam dicoret dari daftar Kartu Keluarga.

Yah, dia sudah pernah berkata jika dia bosan menjadi anak penurut saat yang ia dapatkan bukanlah sesuatu yang ia harapkan.

Tapi, dia juga tidak cukup mampu mengecewakan Ayah Ibunya karena ia tidak bisa melupakan fakta bahwa mereka tetap orang tua yang telah merawat dan membesarkannya.

Bahwa dialah satu-satunya harapan untuk membuat keduanya bahagia. Walau pun sekali lagi, dia harus mengorbankan seluruh hidupnya.

Dengan rakus Ilmira menghirup udara untuk sekedar menetralkan detak kencang di dadanya. Oh, tak sejengkal pun bagian di tubuhnya yang luput dari rasa gelisah ketika ia mengambil keputusan ini.

Memang belum sepenuhnya bulat, namun ia tidak bisa menunda lebih lama ketika situasi semakin panas.

Dia merasa seperti buronan di kantor ini, ke mana pun kakinya melangkah, mata-mata itu selalu mengintainya, membuatnya tak nyaman dan tak leluasa melakukan segala sesuatunya.

"Kami tidak bisa menahanmu lebih lama, jika keputusanmu memang sudah matang." Suara Ny. Wijaya mengembalikan perhatian Ilmira yang bereaksi dengan menganggukkan kepalanya pelan.

"Kau salah satu yang paling potensial di perusahaan ini. Dibuktikan dengan hasil memuaskan yang telah kau raih selama bekerja di sini. Walau pun, yah, beberapa waktu belakangan produktifitasmu sedikit terhambat." Kedua bahu Ny. Wijaya mengendik pelan.

"Kami bisa memakluminya, dan semua itu tidak melunturkan rasa terima kasih kami atas loyalitasmu selama mengabdikan diri di perusahaan ini. Dan, maafkan kami karena terlalu keras padamu saat itu," sambungnya.

Sekali lagi Ilmira mengangguk lalu berpamitan dan dengan langkah berat kembali ke ruangannya. Tempat yang harus ia tinggalkan, mungkin untuk selama-lamanya.

***

"Kau selalu bisa menemuiku kapan pun, Mira," gumam Hani sedih dari balik bahu Ilmira. Perempuan berambut ikal itu masih memeluk tubuh sang sahabat seolah enggan melepasnya.

Ilmira tergelak, "Tentu saja, Han. Rumah kita berdampingan, apa kau mendadak lupa ingatan?" balasnya seraya menepuk bahu Hani yang terkekeh pelan lalu melepas pelukannya.

My Perfect PoisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang