Dari dalam hatinya, Ilmira bersorak karena kebebasan itu sudah hampir di depan mata. Tuhan tahu, sejak percobaan bunuh diri kemudian menemukan dirinya berada di tempat asing—yakni kediaman Phillips, betapa inginnya ia pergi dari sini. Dari muka bumi—lebih baik.
Sudut bibir Ilmira hampir tertarik menyunggingkan senyum. Ia berdeham, dagunya terangkat. "Dengan senang hati, Phillips. Betul sekali. Seharusnya kau mengusirku sejak lama. Kuharap kau takkan muncul dan mencoba mengusik hidupku lagi," ucapnya masih dengan dagu terangkat.
"Selamat tinggal," tutupnya, menatap lurus-lurus cincin biru sewarna lautan pada manik mata Samuel untuk yang terakhir kalinya. Mata yang diam-diam pernah ia kagumi. Yeah, matanya saja—tidak pemiliknya.
Diiringi tatapan menusuk dari arah belakangnya, Ilmira mulai melangkah pergi. Oh, tak pernah ia merasa semantap ini dalam melangkah. Bagai melangkah untuk menjemput harapan baru yang tengah menanti di depan sana.
***
"Jadi kau mengusirnya pergi begitu saja?" tanya David tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Mengikuti jejak Samuel yang kini berdiri dan menatap keluar melalui bingkai jendela.
"Tentu. Mengapa tidak? Justru aku menyesal tak melakukan itu sejak lama," jawab Samuel ketus.
"Kau harusnya tidak melakukan itu." David memperingati, tak habis pikir. "Kau masih pada kesimpulanmu, jika dia yang membunuh ayahmu, Sammy?" sambungnya tak percaya.
"Siapa lagi yang harus kucurigai? Dia berada di sana malam itu!" Samuel melipat tangannya di depan dada.
"Kau benar-benar tidak masuk akal, Samuel. Kau mengusirnya keluar sana, ke tempat yang sangat asing baginya. Demi Tuhan, dia hanyalah orang asing di sini. Bahkan aku yakin dia tidak tahu di kota mana ia berada. Seperti itukah kau memperlakukan wanita yang kau cintai?"
Bahkan David yakin bahwasannya Ilmira tak mengantongi apapun. Jangankan uang, identitasnya pun tidak! Karena jelas, David masih menyimpan berkas-berkas identitas wanita itu karena hanya dialah satu-satunya yang dipercaya oleh Jonathan untuk menyimpannya.
Cecaran David tak membuat Samuel menarik kembali ucapannya, justru membuatnya semakin berang. "Aku tak peduli!" tukas Samuel. "Dan, ini kali terakhir kau menyebutnya sebagai wanita yang kucintai!"
"Tak peduli, huh? Lalu apa yang kau lakukan di sini?" David menyapu pandangan ke sekeliling kamar yang pernah ditempati Ilmira.
Tanpa berniat menjawab sindiran David, Samuel menghentakkan langkah keluar ruangan. Meninggalkan gelengan tak percaya dari David yang tak mengerti apa yang tengah merasuki si Phillips muda.
***
Kepala wanita berambut hitam itu menengadah ke atas langit malam. Pada awan-awan kelabu yang menggantung jauh di atas sana.
Dia mungkin akan menikmati suasana temaram yang disuguhkan malam jika tidak berada pada posisi sulit seperti sekarang. Keinginan untuk terbebas dari kediaman Phillips membuatnya melupakan fakta bahwa dia hanyalah orang asing di negara ini.
Tak ada satu pun yang ia kenali di kota selain—oh, ia bahkan sudah enggan menyebutkan mereka yang sudah membuat hidupnya penuh drama seperti ini.
Sekarang, apa yang harus kulakukan?! batinnya seraya menyapu pandangan sebelum buru-buru memalingkan wajah kembali.
Beberapa meter di belakang tubuhnya, ia melihat sebuah mobil berjalan lambat. Terlalu lambat hingga Ilmira merasa seolah-olah mobil tersebut mengikutinya. Ia bersumpah melihat mobil yang sama kira-kira hampir lima belas menit yang lalu ketika dirinya menyebrang jalan beratus meter jauhnya dari tempatnya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Poison
RomanceSamuel Alan Phillips terpaksa menginjakkan kaki di tempat yang tak pernah ingin dia datangi lagi demi memberi peringatan kepada dalang di balik semua kekacauan yang mencemarkan nama baik keluarganya. Kekacauan yang juga mengancam akan mendepaknya da...