"Ketika kau memutuskan untuk membenci seseorang, kau harus tahu bahwa dia mungkin akan selalu berada dalam pikiranmu."
***
"Mira, bule tadi benar-benar tampan! Aku heran bagaimana bisa kau masih mampu berdiri tegak di depannya di saat lutut-lutut perempuan lain mungkin sudah mengajukan pensiun dadakan ketika berhadapan dengan si tampan yang menawan itu!!" Hani bertepuk tangan, masih menggebu-gebu dan dengan semangat 45 mempertahankan pendapatnya.
Ilmira memutar bola matanya menghadapi ke-keukeuh-an Hani yang berat ia akui, memang benar adanya.
Dia tidak mau disebut-sebut sebagai perempuan munafik dengan menyangkal pesona yang dipancarkan Phillips muda itu.
Karena pada kenyataannya, pria itu adalah makhluk jantan pertama yang mampu menghipnotis Ilmira hanya melalui tatapannya.
Pria pertama yang membuat gelenyar-gelenyar ringan menyebar ke seluruh tubuhnya saat pria itu mencekal tangannya tadi, mencegahnya pergi.
Yah, walaupun Ilmira sangat menyayangkan bibir tipis di wajah tampan pria itu selalu memproduksi kata-kata tajam dan menusuk hingga mampu mengoyak pertahanan diri siapa pun yang mendengarnya.
"Siapa namanya?" tanya Hani penasaran.
"Phillips," jawab Ilmira tak peduli, langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Duh, seharusnya tak perlu kujawab saja tadi. Hani dan ke-kepoan tingkat tingginya, kombinasi sempurna dalam mengorek informasi layaknya paparazzi.
"Phillips?! Nama belakang yang sama dengan miliarder itu, bukan? Jangan katakan bule tampan tadi itu putranya?!" pekik Hani kencang membuat Ilmira meringis, menutup sebelah telinganya yang berdengung mendengar suara maksimal Hani yang layak masuk kategori polusi suara itu.
Yang ditanya hanya mengangkat bahunya pasrah, sebelah tangannya bergerak merapikan berkas-berkas pekerjaan di atas meja.
"Apakah dia datang untuk mengenalmu lebih jauh sebelum kau bergabung menjadi keluarganya?" goda Hani. Ilmira mendelik kesal pada temannya yang malah terkesan mengompori.
Hani terkikik, "Kau lebih pantas bersanding dengan si tampan tadi daripada Ayahnya, Mir. Oh, Phillips muda itu, siapa namanya?"
Ilmira mengangkat bahunya tak tahu sekaligus tak acuh. Toh, tak ada untungnya mengetahui nama pria sialan itu karena ia tidak akan pernah sudi mengucap namanya.
"Siapa nama panjangnya?" Hani bersikeras, nada menggoda jelas terdengar dari suaranya.
"Hani, kau seperti petugas sensus saja! Bisakah kau kembali ke habitatmu dan membiarkan aku menyelesaikan tumpukan pekerjaan malam ini sebelum Ny. Wijaya yang terhormat itu mengirimkan SP. Apakah kau mau menafkahiku jika ia benar-benar mendepakku dari sini?!"
"Aku sangat yakin Phillips muda tadi bersedia menafkahimu, Ilmira." Memang dasar Hani bebal, perempuan itu malah semakin terkikik geli mendengar Ilmira menggerutu dengan wajahnya yang mulai memerah.
***
"Tetap kabari kami terus, Tristan. Sekecil apa pun informasi yang kalian dapatkan, segera hubungi kami secepat mungkin." David menutup panggilan dan memasukan smartphone-nya ke dalam saku kemeja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Poison
RomanceSamuel Alan Phillips terpaksa menginjakkan kaki di tempat yang tak pernah ingin dia datangi lagi demi memberi peringatan kepada dalang di balik semua kekacauan yang mencemarkan nama baik keluarganya. Kekacauan yang juga mengancam akan mendepaknya da...