Dalam peluk dinginnya angin menjelang fajar, Samuel semakin tenggelam dalam tunduk yang mencabiknya menjadi serpihan. Tanpa daya, menguras habis seluruh kekuatannya untuk sekedar menopang tubuh di atas kedua kakinya.
Hingga untuk yang kedua kalinya ia ambruk, jatuh berlutut walau sesungguhnya ia inginkan berbaring lalu terhisap ke dalam tidur pekat dan terbangun dari mimpi buruk ini untuk kemudian di esok hari mendapati sang Ayah masih berada di salah satu sudut rumah ini, terduduk santai dengan majalah bisnis di tangan dan secangkir kopi yang masih mengepul di sebelah tangannya lain.
"Menangislah, sayang..."
Samuel yang tengah tertunduk merasakan pelukan hangat melingkari bahunya yang mana malah membuat setitik air mata mengembun di sudut matanya hingga ia tak kuasa menahan rintihan terlepas dari bibir keringnya.
"Menangis tak akan membuatmu lemah. Karena setiap tetes yang kau curahkan itu menunjukkan betapa berharganya dia bagimu."
Lantunan suara lembut yang sangat dikenal Samuel itu membuatnya terisak semakin dalam. Membuat tanggul air mata yang sedari tadi ia tahan—akhirnya tak terbendung juga, mengalir keluar dari sudut mata lalu meluncur di atas hidung bangirnya dan berakhir di atas punggung tangannya yang terkepal di atas lutut.
"Apakah anak pembangkang sepertiku cukup berharga juga untuknya?" Kepala Samuel terangkat menatap peti mati sang Ayah di hadapannya.
"Tentu. Setiap anak sangat berharga bagi orang tua mereka. Aku sangat mengetahui bagaimana perjuangan ayah dan ibumu demi mendapatkanmu, Sammy..." Lily yang ikut berlutut di samping sang keponakan, melepas pelukannya dan menatap sendu pada peti sang ipar.
Satu persatu kerabat dekat keluarga Phillips datang dan mereka menggelar do'a bersama secara tertutup untuk mendiang Jonathan sebelum tubuh kaku pria itu diterbangkan ke Jakarta dan dikebumikan di sebelah peristirahatan terakhir sang istri.
Samuel menolak mentah-mentah usul sebagian besar keluarganya untuk menyewa detektif swasta demi menyelidiki kematian ganjil sang Ayah. Karena satu nama sudah terlintas di kepalanya ketika mengingat kematian sang Ayah.
Ilmira. Samuel tidak bisa mengelak dari fakta jika wanita itu berada di sana ketika ia menemukan sang Ayah tebaring kaku di atas ranjangnya.
Mungkin hal tersebut yang membuat mata hati Samuel kembali terselimuti oleh setitik kebencian ketika berhadapan dengan Ilmira. Seakan rasa menggebu itu tak pernah hadir. Seakan rasa ingin memiliki itu tak pernah ada.
"Kau akan terbang ke Jakarta siang ini, Sammy? Kau yakin itu yang harus kau lakukan?" tanya Lily, bangkit berdiri setelah Samuel bangkit lebih dulu.
Samuel tidak langsung menjawab, ia bergerak maju lalu mengelus peti mati berwarna putih itu dengan telapak tangannya. Dingin. Seperti kondisi hatinya saat ini sepeninggal sang Ayah.
"Ya, Bibi. Walaupun Dad tak menitipkan pesan, tapi aku yakin itulah yang ia inginkan. Dimakamkan di sebelah Mom. David sudah menghubungi Erland untuk mempersiapkan pemakaman Dad di sana."
***
Dia berada di sana. Berbalut busana serba hitam yang ia temukan di lemari kamar tempatnya tidur, Ilmira turut melantukan do'a untuk mendiang Jonathan. Dari sudut ruangan yang terhalangi oleh ilir mudik kerabat Phillips yang datang pagi itu.
Cukup dari sudut, karena ia tak cukup memiliki keberanian untuk mendekati peti mati Jonathan. Di mana terduduk lemas sang putra di sampingnya.
Kemarahan dan tuduhan Samuel terhadapnya semalam sudah cukup membuat Ilmira takut untuk kembali berurusan dengan pria itu. Walaupun sesungguhnya Ilmira ingin meyakinkan Samuel jika ia hanya berada pada waktu dan tempat yang salah. Dia bukanlah pembunuh—yang benar saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Poison
RomanceSamuel Alan Phillips terpaksa menginjakkan kaki di tempat yang tak pernah ingin dia datangi lagi demi memberi peringatan kepada dalang di balik semua kekacauan yang mencemarkan nama baik keluarganya. Kekacauan yang juga mengancam akan mendepaknya da...