38 | Valentine

268 53 45
                                    

I hated Valentine's days and chocolates. I truly did. No more.

London - Winter

Seperti yang orang-orang katakan, Februari dikenal sebagai bulan kasih sayang. Setelah hari ulang tahunku, dua minggu kemudian adalah Hari Valentine. Apabila hadiah ulang tahunku lebih beragam mulai dari barang yang kusukai hingga yang bahkan tidak pernah kusentuh, maka hadiah di hari Valentine berbeda. Kebanyakan adalah cokelat, kue, dan bunga.

Semua hadiah itu kuberikan untuk Mum yang selalu bertanya padaku, "Dari pacarmu?" yang tentu saja kujawab "tidak".

Hal yang paling kubenci dari Hari Valentine adalah peraturan sekolah yang mewajibkan setiap muridnya mengenakan atasan bebas berwarna pink, namun tetap dibalut jas dan celana seragam sekolah. Perpaduan yang aneh. Mengapa tidak dibebaskan sekalian atau mengenakan seragam seperti biasanya saja?

Selama sepekan sekolah akan dihiasi dengan berbagai macam dekorasi berbentuk berwarna pink. Mulai dari balon berbentuk hati, hiasan dinding dan pintu, hingga bunga palsu yang tersebar di setiap sudut sekolah. Selain itu, ada tugas spesial di kelas-kelas tertentu seperti membuat cokelat di kelas tataboga dan menulis puisi di kelas bahasa Inggris.

Aku tidak suka puisi.

Dan, setiap hari Jumat di pekan Valentine, diadakan Festival of Love. Namanya sangat menggelikan. Festival itu terdiri dari pentas musik dan stan dari beberapa klub sekolah. Syukurnya, tim futsal tidak berpartisipasi. Tidak ada paksaan dari pihak sekolah atau Coach Mason. Pekan Valentine lebih seperti waktu istirahat bagi kami.

"Yo, Andrew!" Ryan melambaikan tangannya di tengah kerumunan anak-anak di lapangan futsal yang disulap menjadi lokasi pekan raya. Ada Mikayla yang berdiri di sampingnya dan juga Emre, yang tampak begitu jelas menantikan kehadiranku. "Please don't tell me you are wearing--"

Aku melepas kancing jas hitam sekolah dan menunjukkan goalkeeper kit Arsenal berwarna pink di baliknya. Mereka bertiga memberikan respons yang berbeda-beda. Emre, seperti biasa, menunjukkan kebanggaannya padaku sambil mengangkat jempolnya. Ryan terlihat ingin muntah sementara Mikayla memandangku aneh.

"Milik kalian berdua lebih buruk." Tidak kusangka akan mendengar cibiran Emre karena dia jarang mengatakan hal negatif. Hidupnya selalu dipenuhi dengan hal-hal positif.

Ryan merangkul pundak Mikayla dan dengan bangganya memperlihatkan kaus pink yang dikenakannya. Ada pola berbentuk setengah hati yang menyambung dengan kaus yang dikenakan Mikayla. Ketika mereka berdiri berdamping seperti ini, pola hati itu bersatu.

"Emre, kita pergi saja dari sini," aku berbisik dengan suara yang keras agar terdengar oleh Ryan dan Mikayla, kedua pasangan yang tengah dimabuk cinta itu.

Menggelikan.

"Kau mau kaus yang sama juga, Andrew?" tanya Mikayla. Aku tahu dia sedang menggodaku karena jawabannya sudah terlihat jelas dari wajahku. "Aku sudah memberitahu Zeva toko yang menjual baju couple seperti ini. Benar kan, Zeva?"

Begitu Mikayla mengalihkan pertanyaannya ke Zevania--yang entah sejak kapan berada di sini--rasanya jantungku loncat dari tempatnya, persis seperti ketika bola tendangan lawan meleset dari tangkapanku dan berhasil menjebol gawang yang telah kujaga sekuat tenaga dan sepenuh hati.

"Baju apa? Oh, so cute!" Zevania mendekat ke tempat Mikayla berdiri. Rambut hitam panjangnya dikuncir dengan pita berwarna pink.

Aku cepat-cepat mengecek apakah Zevania juga mengenakan kaus yang sama dan bersyukur begitu melihat dia mengenakan kemeja pink polos di balik blazernya.

Journal: The ReasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang