49 | Night

210 51 49
                                    

I thought I would've had an ordinary Winter Wonderland, New Year's Eve, Valentine's Day, Leaver's Day, and school's prom, but with you, there were no ordinary days. With you, everything was extraordinary. I don't know if I'd have those days without you after you leave. I hate being selfish but if I could become one for once, I hope that you stay. Here, in London, with me.

Please, stay.

London - Summer

☀️

Hari-hari yang dihabiskan dalam sebelas tahun semasa sekolah tidak artinya apabila prom tidak menyenangkan—itu yang dikatakan Kate, bukan aku. Untuk menghindari kiamat itu, kakakku rela melewatkan pesta musim panas bersama teman-temannya demi membawa langsung tuksedo untukku dan gaun untuk Zevania yang didesainnya sendiri. Dia juga yang membantuku menata rambut, memilih sepatu, dasi, bahkan parfum. Dia ingin prom-ku sempurna.

"Who's your prom date?" tanya Dad yang mengemudi mobil dalam perjalanan dari rumah menuju sekolah, bersama Mum di kursi depan, dan tentunya Kate di sampingku. Dia mengenakan gaun pendek selutut berwarna biru Manchester City, warna favoritnya, tapi dia bukan pendukung Manchester City—dia tidak suka sepak bola kecuali timnas Inggris.

Tadinya Ryan mengajakku dan Emre untuk menyewa mobil jeep, tapi Mikayla melarangnya dan bilang bahwa Ashley akan membawa limosin. Aku tidak begitu memikirkan kendaraan apapun, bahkan kalau membawa kuda juga aku tidak peduli. Namun, begitu mendengar nama Ashley, benakku secara otomatis memikirkan satu nama.

Sadly, I didn't ask her to be my prom date. Will she go with someone else?

"No, I don't have one." Aku membuang muka ke sisi jendela, memandang langit berwarna biru cerah padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

Musim panas membuat hari lebih panjang. Aku lebih suka malam daripada pagi atau siang. Menurutku, malam hari itu menenangkan. Meskipun London tidak kenal kata "sepi", menurutku keheningan di sekitar rumahku sudah cukup. Malam juga kugunakan untuk mengevaluasi hariku, sehingga keesokan harinya aku dapat menjadi pribadi yang lebih baik. Dad yang mengajariku metode itu.

"Dia bohong, Dad." Kate menyela pernyataanku. "Aku bahkan sudah membuatkan gaun khusus untuk gadisnya."

Mum terkikik dari kursi depan, sementara Dad sempat melirik dari kaca spion. "Gadis mana yang bisa menolak pesona seorang Stanley?"

"Dad!" Aku ingin berlaga marah, tetapi sebuah senyuman malah tercipta menanggapi perkataan Dad.

Sepanjang perjalanan, Dad bercerita awal mula dia bertemu dengan Mum. Saat itu, Dad menjadi arsitek untuk toko kue keluarga Mum dan pendapat mereka selalu sama, seolah-olah keduanya sudah memiliki satu visi. Seiring berjalannya waktu, Dad dan Mum berhubungan hingga melangsungkan pernikahan.

Halaman depan sekolah sudah dipenuhi oleh para orang tua yang mengantarkan anak mereka. Dad mencari tempat untuk memarkirkan mobil yang agak sedikit jauh dari kerumunan.

Aku melayangkan pandang ke sekitar, tidak ada yang kukenal. Sebentar. Gaun merah yang tampak mencolok di tengah kerumunan. Aku menemukannya!

Tampaknya bukan hanya aku yang menemukannya, melainkan Kate juga. Dia berlari kecil ke arah keluarga Alanen. Kupikir dia akan menghampiri Julian yang juga ada di sana, tetapi dia justru menarik Zevania ke dalam dekapannya. Sejak kapan mereka jadi sedekat itu? Terakhir kuingat, mereka hanya pernah bertemu sekali. Atau jangan-jangan sebenarnya mereka berhubungan di belakangku? Maksudku, mungkin Julian pernah membawa mempertemukan Kate dengan Zevania, lalu mereka menghabiskan waktu seharian atau lebih sehingga mereka jadi teman dekat.

Journal: The ReasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang