50 | Departure

241 53 28
                                    

I hate goodbyes. I hate that one of the few reasons why I liked this city is now gone. I hate the fact that you aren't originally from here. I hate myself for realising my feelings too late. I hate you for leaving too soon.

But on the other hand, those hates come because I love all the little hellos even though we never said it directly. I love that this city will always remind me of you. I love myself for having these feelings. I love you for staying even if it was just for short time.

I'm not gonna say 'goodbye' to you, because I know I'll 'see you later' in the future. Here, in London.

London in summer, autumn, winter, and spring. London in all seasons. For so many reasons.

☀️

Aku salah.

Selama ini aku berpikir bahwa hal yang paling dicintai oleh Zevania adalah kota London, ternyata di atas itu masih ada Manchester United.

Pada prom kemarin, aku memberinya tiket menonton pertandingan final FA Cup yang mempertemukan Chelsea vs Manchester United. Tadinya aku tidak begitu peduli dengan final FA Cup karena Arsenal telah gugur pada putaran ketiga melawan Nottingham Forest. Namun, aku teringat dengan Zevania dan kudengar dia belum pernah menonton pertandingan klub favoritnya itu secara langsung.

Sebenarnya aku ingin mengajaknya menonton ketika Manchester United datang ke Stadion Emirates, tetapi hari itu berdekatan dengan hari kematian Dave. Momen paling terpuruk dalam hidupku. Sahabatku tewas, aku menjadi salah satu alasan kematiannya, lalu aku pergi menonton bersama perempuan yang diincar Dave? Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri, rasanya seperti menjadi villain dalam setiap kisah hidup semua orang di dunia ini. Termasuk hidupku sendiri.

"Terima kasih, Andrew," bisik Zevania.

Aku mengalihkan mataku dari lapangan yang masih kosong, berpaling kepada gadis di sebelah kiriku. Sejujurnya, aku lebih tertarik beradu tatap dengan Zevania daripada menonton pertandingan rival klub favoritku, hanya saja aku tidak mau dicap sebagai orang aneh oleh Zevania dan orang-orang di sekelilingku.

"Kau sudah mengucapkan terima kasih sebanyak dua puluh kali."

Zevania tidak henti-hentinya berterima kasih padaku semenjak prom. Dia bahkan mengirimiku pesan setidaknya sehari dua kali pada bangun dan sebelum tidur, mengucapkan terima kasih. Tadi pagi juga saat di mobil Julian menjemputku dan Kate, kebetulan mereka berdua juga akan pergi, dan jarak antara Islington dan Wembley memang lumayan jauh—sekitar satu jam menggunakan tube.

"Tepatnya sebanyak trofi Premier League Manchester United," balasnya.

Aku pura-pura terlihat kesal atas sindiran Zevania yang mengungkit prestasi Manchester United karena Arsenal baru menjuarai Premier League sebanyak tiga belas kali, masih kalah dengan capaian klub favoritnya itu. Kendati demikian, sebenarnya aku senang mengobrol tentang topik yang sama-sama kami sukai: sepak bola meski klub yang kami dukung berbeda. Aku penasaran bagaimana jika suatu saat nanti, aku benar-benar menjadi kiper utama Arsenal dan melawan Manchester United atau skenario lainnya; bagaimana jika aku ditransfer ke Manchester United sehingga mendapatkan dukungan dari Zevania sepenuhnya?

Mengapa aku berpikir seolah-olah aku akan bertemu Zevania lagi? Padahal gadis ini juga akan meninggalkan kota ini dalam dua hari. Setelah itu tidak yang tahu bagaimana arus kehidupan akan membawa kisah antara kami berdua.

"Kau mengenakan jersey Arsenal?" Zevania bertanya lagi, menyadari aksiku yang bisa dibilang nekat ini.

"Tidak terlalu kelihatan jersey Arsenal, kan?" kataku sambil tertawa kecil.

Journal: The ReasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang