8 | Gone

1.2K 232 26
                                    

London — Autumn

I wish you were there, supported me. But you’re gone.

🍁

Sylvianna, Zevania

There are hundreds books in the library, but I’m looking for only one book and it will be mine for awhile.

There are millions people in the world, but I’m looking for only one girl and she will be mine forever.

Apabila Zevania merasa jijik membacanya—dan hanya dia yang tahu—maka Kate-lah yang harus bertanggungjawab. Dia yang menyuruhku menulis ini. Katanya dia mendapatkannya dari buku kumpulan syair karya temannya anak Sastra Prancis. Selain karena Kate memaksaku, aku juga tidak ada ide untuk menulis apa, jadi kuturuti saja permintaannya.

Aku melakukan apa yang Kate perintah: menitipkan suratnya melalui Mrs. Schumer. Aku bahkan tidak sarapan karena terburu-buru. Malu sekali apabila ada siswa lain yang melihatku menitipkan surat dengan cara seperti ini.

Dan yang lebih parah lagi, jika yang melihatnya adalah Dave. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan padanya. Bagaimana pun juga aku tidak ingin membuatnya merasa dikhianati. Dia pasti menanyakan dua hal: 1) siapa gadis yang sedang kusukai dan 2) apa isi suratnya. Tak bisa kubayangkan ekspresi sobatku itu saat dia membaca nama Zevania Sylvianna.

Berbeda dari surat pertama, kali ini aku tidak membentuknya seperti pesawat kertas. Aku menggunakan amplop berwarna merah yang bertuliskan “Sylvianna, Zevania” pada bagian depan. Meminimalisir kemungkinan ada yang membacanya. Aku bahkan berusaha mengubah sedikit tulisan tanganku agar tidak ada yang mengenalinya. Zevania pasti tidak pernah melihat tulisanku. Namun, teman-temannya barangkali tahu.

Dylan, misalnya.

Meja Mrs. Schumer sudah penuh dengan kertas-kertas berwarna-warni yang bertuliskan nama beberapa murid. Ah, syukurlah. Bukan aku satu-satunya yang menitipkan surat dengan cara kuno seperti ini. Banyak juga yang lainnya. Ternyata ada yang datang lebih pagi dariku. Aku meletakkan suratku dengan yang lainnya.

“Andrew? Sedang apa kau di sini?”

Sekujur tubuhku mendadak membeku. Aku menoleh ke sumber suara. Seorang gadis pirang berdiri dengan wajah penasaran. Aku tidak terlalu dekat dengannya. Namun, aku tahu, dia memiliki jiwa wartawan yang besar dalam dirinya.

Aku melemaskan otot di sekujur tubuhku, mencoba bersikap santai padahal jantungku berdegup kencang. Semoga indera pendengaran gadis ini tidak terlalu peka. “Hai, Mikayla. Aku ingin meminjam buku untuk jam pertama tapi Mrs. Schumer belum datang.”

“Buku apa? Kita kan sekelas di jam pertama.” Mikayla semakin menyipitkan matanya. Barangkali mencoba mencari titik kebohongan dari mataku.

Mati. Aku lupa sekelas dengannya. “Makalah rangkuman sosiologi tahun lalu. Catatanku ada yang tidak lengkap. Minggu depan ada tes, kan?” Astaga. Andrew, kau begitu pandai berakting!

Kedua mata Mikayla menerawang ke antah berantah. “Jangan terlalu sering bermain futsal hingga ketinggalan catatan seperti itu.”

“Katakan hal serupa pada pacarmu itu,” balasku. Aku tahu Mikayla hanya bercanda. Begitu juga denganku.

Dia tidak membalas apa-apa lagi. Hanya memutar bola matanya. “Permisi! Kau menghalangi jalanku.”

Tidak mau menarik pertanyaan lainnya, aku memilih meminggir. Membiarkannya mencari apapun di meja Mrs. Schumer. Aku menyaksikannya dengan perasaan was-was. Takut dia menemukan suratku. “Apa yang kau cari?”

Journal: The ReasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang