London – Autumn
I know it sounds crazy and weird but I wish you looked at me the way you looked at London.
🍁
Sesuai kesepakatan, hari ini grup tugas musik akhir tahunku yang terdiri dari Dave, Zevania, Akira, dan Keira, bertemu di London Eye untuk menulis lagu. Aku tidak tahu apakah ini ide yang bagus. Namun, begitu aku mendengar Keira menyebut tentang tempat untuk menenangkan pikiran, London Eye langsung muncul dalam benakku.
Aku pribadi tidak sering ke daerah South Bank, yang biasanya dipenuhi oleh para turis. Aktivitasku selalu padat dengan hal-hal yang menyangkut sekolah dan tentunya berlatih futsal. Bisa dibilang aku baru naik London Eye dua kali. Pertama saat aku ulang tahun ketujuh, Dad mulai mencuci otakku dengan bangunan-bangunan di London termasuk London Eye. Dari kincir raksasa setinggi 135 meter, kita dapat melihat pusat kota London. Kedua, pada hari ulang tahunnya....
Ah, itu Zevania! Duduk sendirian di salah satu kursi dekat Taman Jubilee. Ia menundukkan kepalanya, tampak sedang menulis sesuatu. Mungkin lirik lagu. Mataku melayangkan pandang sekitar, tidak ada tanda-tanda keberadaan Dave, Keira, atau Akira. Sepertinya gadis itu yang pertama datang.
Aku berjalan perlahan dari arah pukul empat, memastikan tidak menimbulkan bunyi dari langkah kakiku dan berhenti tepat di belakang kursi yang diduduki Zevania. Mataku masih berfungsi dengan baik, tetapi aku tidak mengerti sama sekali apa yang ditulis oleh gadis itu. Ia tidak menggunakan bahasa Inggris. Mungkinkah ... bahasa Indonesia? Aku tidak pernah mendengar bahasa Indonesia sama sekali.
Zevania terlihat begitu sungguh-sungguh menulis kata tiap kata pada bukunya itu. Apakah ia sedang menulis diary? Mungkin saja bukan? Itu yang biasa dilakukan anak klub jurnalistik. Mikayla juga demikian. Ryan pernah menceritakannya pada kami bahwa kekasihnya itu pernah marah setengah mati pada Ryan karena merobek buku diary milik Mikayla.
Kalau memang begitu, tidak seharusnya aku mengintip apa yang ditulis oleh gadis itu kendati aku tidak mengerti sepatah kata pun dari tulisannya. "Baru kau yang datang?"
Aku tidak bermaksud mengejutkannya, tetapi kurasa Zevania tidak menduga kedatanganku yang memang tiba-tiba ini. "Seperti yang kau lihat," jawabnya pelan. Ia mungkin berpikir aku bodoh ketika mendengar pertanyaan itu. Sudah jelas sekali ia memang sendirian.
"Boleh aku duduk di sampingmu?"
Hanya basa-basi.
"Tentu."
Tak disangka sangka Zevania mengangguk mengiyakan
Bodoh! Andrew, kau bodoh! Duduk berdampingan dengan gadis itu akan semakin membuat suasana menjadi lebih canggung. Namun, apabila aku tidak duduk setelah Zevania mempersilakan, mungkin ia akan berpikir bahwa aku tidak menghargainya.
Detik selanjutnya, aku sudah duduk di sebelah Zevania. Kurasa ini ketiga kalinya kami duduk berdampingan. Terakhir kali saat Zevania mewawancaraiku di Highbury Field sedangkan untuk pertama kalinya adalah pada hari kedatangan Zevania di London.
Apakah aku terhitung sebagai orang yang menyambutnya?
Tanganku meraih ponsel dalam saku celana. Bodoh sekali. Ponselku kehabisan baterai setelah ber-video call dengan Kate selama perjalanan dalam tube. Ponselku mati tepat saat tiba di Stasiun Waterloo. Salahku bergadang bermain game bersama Ryan sehingga aku kelupaan untuk mengisi baterai ponsel terlebih dahulu.
Salahkan Kate juga, yang amat bersemangat begitu mengetahui aku sekelompok dengan Zevania untuk tugas akhir tahun. Kedepannya, aku tidak akan memberitahu apa pun tentang hubunganku dengan Zevania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Reasons
Teen Fiction[BOOK #2 OF THE JOURNAL SERIES] Andrew Stanley tidak pernah menulis jurnal sebelumnya, dia benci membaca dan menulis karena menurutnya membosankan. Hobinya adalah bermain sepak bola dan tujuan hidupnya hanya satu: menjadi seorang kiper profesional y...