2 | Kick-Off

1.6K 257 13
                                    

LondonAutumn

Watch Out, Girl!

🍁

“Kemarin Mr. Mason menanyaimu, Stanley. Kau hampir saja tidak akan diturunkan di pertandingan melawan Rosebrown.” Ryan melemparkan bola basket dengan cukup kencang ke arahku, yang langsung ditangkap oleh Dave yang entah sejak kapan berdiri di dekatku.

Dave men-dribble bola basketnya dalam hitungan detik dan memasuki ring basket di hadapanku, bersamaan dengan tepukan pada bahuku. “But I got your back, mate. Kau tetap akan turun.”

“Rayu merayu itu sudah menjadi bakat alamiah seorang Dave Collins,” sahut Ryan yang mengadu skill-nya dengan Emre.

Aku tidak terlalu mendengarkan cerita mereka tentang bagaimana Dave meyakinkan Mr. Mason akan menurunkanku untuk pertandingan besok. Kemarin aku harus menjemput Kate di bandara dan tidak ikut berlatih bersama tim futsalku dengan Mr. Mason, pelatih kami. Padahal latihan kemarin bisa dibilang latihan penting karena Mr. Mason baru saja merombak anggota tim inti futsal. Posisiku sebagai kiper utama nyaris tergantikan oleh Reynold Wilson. Beruntung Dave dapat mempertahankan posisiku sebagai kiper utama tim. Dia sendiri terpilih sebagai kapten tim.

Kami tidak berlatih hari ini dan akan mulai latihan rutin besok di sekolah. Hanya kami berempat. Aku, Dave—sahabatku sejak masih berusia 4 tahun, Emre—sang pemilik cafe ini, dan Ryan—yang biasanya menghabiskan liburan musim panas dengan pacarnya, Mikayla Bennett. Kudengar mereka pergi ke Paris dan Amsterdam pekan lalu. Emre tidak ingin diminta ibunya membantu di cafe milik keluarganya, jadi dia mengundang kami ke sini. Bermain basket di lapangan yang terletak tepat di sebelah cafe miliknya.

Lalu aku melihat dua orang gadis di seberang jalan. Aku mengenali salah satunya, Annika Alanen. Adiknya Julian Alanen, yang rupanya kembali menjalani hubungan sebagai teman dengan Kate. Untuk saat ini. Julian telah menjelaskan pada Kate bahwa gadis yang dijemputnya kemarin adalah tamu keluarga Alanen yang akan bersekolah di London selama setahun.

Tunggu... berarti gadis yang bersama Annika adalah Gadis Eskimo itu dan kemungkinan dia juga akan satu sekolah dengan Annika. Sekolah kami. Kuharap dia tidak mengingat kejadian di bandara kemarin.

Gadis itu di sana. Dia menarik salah satu kursi di teras cafe yang berhadapan dengan bola basket. Aku tidak salah. Gadis yang bersama Annika sudah pasti Gadis Eskimo yang kutemui di bandara kemarin. Semoga dia tidak mengingatnya.

Ms. Aksov, ibunya Emre, menghampiri gadis itu dan membawa segelas latte untuknya. Ms. Aksov tidak berkata apa-apa setelahnya dan kembali masuk ke dalam cafe. Aku memerhatikan wajah Gadis Eskimo itu yang tampak sedang memikirkan sesuatu sambil menyeruputi latte-nya. Kemudian, setelah tampak menyerah, dia meletakkan latte-nya dan mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya.

“Aku sedang tidak mood bermain,” aku memberitahu teman-temanku dan memilih duduk di salah satu bangku di pinggir lapangan.

Dari awal aku memang tidak terlalu bersemangat begitu Emre menelepon dan mengajak bermain basket. Aku kemari semata-semata hanya untuk membantu Emre menghindari ibunya. Dia memang tidak suka bekerja di cafe milik keluarganya karena rata-rata pelangganya adalah perempuan genit yang selalu menanyakan nomor ponsel Emre. Emre bilang, dia sedang menyukai seorang gadis Turki, teman kecilnya di Istanbul. Sayangnya mereka harus terpisah oleh jarak.

Aku menegak air dari botol minum sambil memandangi Gadis Eskimo itu yang tengah mencari sesuatu dalam tasnya. Bersamaan dengan itu bola basket mengarah ke arahnya dengan cepat. “WATCH OUT!” aku berteriak, memperingatkan secara refleks. Namun, kejadiannya terlalu cepat. Bola itu berhasil mengenai meja yang ditempati Gadis Eskimo itu. Dan parahnya, gelas latte-nya sudah dalam posisi terguling. Isinya pasti tumpah dan membasahi mejanya, termasuk ... buku milik Gadis Eskimo.

Journal: The ReasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang