I don’t know if you’ve heard someone say this before but London is not just your destination like you thought, it’s your home and people will always find their way to go back to their home—it is something you can’t leave behind. The memories, the smells, will haunt you forever and you’ll have no choice but to come back home.
And I’ll be waiting here, in your home.
London – Spring
🌸
Musik bukan termasuk ke dalam hal terpenting dalam hidup seorang Andrew Stanley—bukan berarti aku membencinya, just not a huge fan of it. Nonton konser atau festival musik tentunya tidak pernah masuk ke dalam daftar hal wajib kulakukan sebelum mati. Sejak kecil, aku sudah jatuh cinta pada sepak bola dan tidak pernah melirik hal lainnya. Apabila sudah menyukai suatu hal, sulit bagiku untuk pindah ke lain hati. Aku akan benar-benar mengerahkan seluruh waktu dan kemampuanku untuk hal tersebut. Sepenuh hati, tanpa mendengarkan pendapat orang lain.
Tidak pernah terbayang dalam kepalaku bahwa akan tiba saatnya aku berada di tengah lautan manusia yang lompat-lompat dengan iringan musik yang memekakkan telinga. Andrew-musim-semi tahun lalu mungkin akan menolak mentah-mentah ajakan siapapun untuk datang ke sebuah festival musik. Lebih baik di rumah, bermain FIFA dengan damai dan tentram.
Ya, itu Andrew-musim-semi tahun lalu. Lain halnya dengan Andrew-musim-semi tahun ini. Sebenarnya, banyak sekali hal yang berubah dalam hidupku setahun terakhir. Sebelumnya, aku tidak menyukai tempat ramai di London yang penuh dengan turis seperti London Eye atau malam tahun baru di Victoria Embankment. Namun, secara mengejutkan aku menghabiskan waktu di sana. The Haunted Mansion di Winter Wonderland? Mimpi buruk. Lalu, menonton film di bioskop? Sebuah trauma. Menjadi akrab dengan Dylan Cartier dan Tyler O’Connor bahkan sampai rela menonton penampilan mereka—yang ternyata memiliki band—di London Spring Music Festival tidak pernah tertulis dalam rencanaku.
Semuanya terjadi begitu saja hanya kehadiran seseorang.
Oknum tersebut berdiri di sebelah kiriku dengan tangan yang super sibuk: memegang kamera. Dia merekam suasana di festival, para musisi yang tampil, penonton yang tenggelam dalam musik, bahkan sesekali mengarah padaku. (tapi aku pura-pura tidak menyadarinya dan seolah-olah menikmati siapa pun yang tengah tampil di atas panggung. Nyatanya, tidak ada yang lebih menarik dari keberadaan Zevania di sisiku.)
Selain Zevania dan aku, di sini juga ada Mikayla, Ryan, Emre dan Kafka. Mereka bertiga (kecuali Emre) tampak menikmati festival musik, bahkan ikut bernyanyi dan melompat. Berbeda denganku yang seperti orang linglung dan tersesat, usaha paling keras yang bisa kulakukan hanyalah menganggukkan kepala sesuai tempo musik tapi tidak tahu liriknya sama sekali. Sama halnya dengan Zevania yang lebih seperti seorang juru kamera alih-alih pengunjung festival. Aku yakin dia pasti diminta Ashley untuk mendokumentasikannya atau dia sendiri yang mengajukan diri secara sukarela.
Dipikir-pikir, tidak banyak yang kuketahui tentang Zevania. Maksudku, aku tahu bahwa dia amat sangat cinta dengan London, warna merah, Manchester United, dan cokelat. Namun, itu saja. Kurasa itu sudah menjadi rahasia umum bagi mereka yang mengenalnya. Di luar itu semua, aku sama sekali tidak tahu hobi Zevania, kelak dia ingin menjadi apa, apa ketakutannya. Selama ini, kurasa dia cenderung menghindari obrolan tentang dirinya. Entah dia memang menutup diri kepada orang lain atau dia belum cukup percaya padaku untuk membicarakan kehidupannya denganku.
Padahal, aku juga ingin tahu. Aku ingin mengenalnya lebih dari yang telah kuketahui.
Di sisi lain, dia sangat suportif terhadap orang-orang di sekitarnya. Dia juga menjadi salah satu orang di balik kesuksesan The Villains—band teman-temannya—agar bisa tampil di panggung sebesar ini. Keira juga—gadis tidak tahu diri itu—pernah tidak percaya diri dengan kemampuan bermusiknya, tetapi yang kudengar dari cerita Annika, yang mengajak Keira bergabung dengan The Villains adalah Zevania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Reasons
Genç Kurgu[BOOK #2 OF THE JOURNAL SERIES] Andrew Stanley tidak pernah menulis jurnal sebelumnya, dia benci membaca dan menulis karena menurutnya membosankan. Hobinya adalah bermain sepak bola dan tujuan hidupnya hanya satu: menjadi seorang kiper profesional y...