30 | Lullaby

315 63 21
                                        

London - Winter

Did you hear what my heart sings to you?

Tahun ini kami mempersembahkan pentas musiknya untuk mendiang Dave. Ilustrasi Dave hasil salah satu murid seni dipajang di mading utama, disertai jersey kebanggaannya yang bernomor tujuh. Beberapa medali juga digantung di dinding bersama foto-foto kenangan Dave dengan para anggota tim futsal. Aku benar-benar tidak percaya akan berpisah  secepat ini dengannya.

Sialan, kau, Dave! Katanya kau akan menjebol gawang Arsenal yang dijaga olehku ketika sudah menjadi striker Liverpool? 

Ternyata aku menjadi korban janji-jani manisnya. 

Kepergian Dave berdampak buruk bagi kami secara psikologis. Kami kehilangan sosok kapten dan ketika bertanding di laga persahabatan, permainan kami seperti tanpa arah. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Dave. Coach Mason menawariku menjadi kapten sementara sampai kami lulus. Namun, aku menolaknya. Kurasa aku tidak bisa menjadi seorang pemimpin. Kandidat yang paling tepat adalah Ryan. Dia dapat mengembalikan semangat tim meski tidak seratus persen seperti semula saat Dave masih bersama kami.

Ya, apakah keadaan memang tidak akan benar-benar kembali seperti semula? 

Saat ini aku berada di lapangan basket indoor yang disulap menjadi sebuah arena konser. Annika mengajakku dan Emre datang ke sekolah dua jam lebih awal dari acara dimulai. Alasannya agar kami dapat mengambil kesempatan untuk geladi bersih di panggung. Kupikir Zevania akan di sana dan melihat penampilanku, tetapi batang hidungnya tidak terlihat.

Setelah geladi bersih, Annika hilang entah ke mana dan meninggalkanku serta Emre di sini, duduk di tribun penonton paling belakang. menyaksikan anak-anak yang bertanggungjawab dalam acara menyiapkan segalanya sebelum acara dimulai. Termasuk Zevania yang baru kelihatan semenjak kedatanganku. Beberapa kali dia terlihat mondar-mandir sambil memegangi sebuah buku dan kamera yang menggantung di lehernya.

"Hai, Andrew." Keira tiba-tiba muncul di hadapanku dan duduk di sebelahku. Sejenak aku lupa dengan keberadaannya dan tawarannya untuk membantuku melupakan Zevania. "Kapan terakhir kita mengobrol? Maaf aku terlalu larut dalam menulis lagu. Tidak seharusnya aku meninggalkanmu."

Ah, bagaimana caranya aku menolaknya tanpa melukai perasaannya? Kurasa aku tidak butuh bantuan siapa pun untuk mengurus perasaanku. Sejauh ini aku berhasil menghindari Zevania. Bukan disengaja tepatnya karena kami berdua sibuk dengan urusan masing-masing. Setelah mendengar pendapat Annika dan Emre, perlahan tapi pasti aku mulai bisa memaafkan diriku sendiri. Aku sedang mencari jalan keluar atas segala dilema dalam hatiku.

"Hai. Tidak apa-apa. Kau tidak perlu merasa bersalah." Aku mencoba mencari kata-kata yang tepat agar gadis itu mengerti dan kembali menjalankan hidupnya sendiri. Namun, sayangnya di sini ada Emre. Dia bisa mengamuk apabila tahu bahwa aku berencana untuk mengubur perasaanku dengan cara melibatkan perasaan orang lain.

Emre. Anak itu bertingkah seolah-olah tidak menguping pembicaraanku dengan cara berpura-pura sibuk bermain ponsel, tetapi aku tahu dia tengah memasang telinganya benar-benar. Setelah dari sini dia pasti akan melayangkan seribu pertanyaan padaku.

"Sayangnya kita tidak sekelompok lagi." Keira mengubah topik pembicaraan dengan sendirinya dan aku bersyukur mendengarnya. "Aku belum pernah melihat penampilanmu. Tema apa yang akan kaubawakan?"

Dari pakaian kasual yang kukenakan; kemeja putih polos dan celana jeans, sudah pasti Keira tidak bisa menebak tampilan apa yang kusiapkan. "Lagu tentang perpisahan," jawabku.

Journal: The ReasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang