34 | Newcomer

223 54 25
                                    

London - Winter

Seemed like you've got a new friend? What's his name? Kafka?

Istilah Inggris adalah rumah sepak bola atau semua orang Inggris mencintai sepak bola adalah kebohongan belaka. Dan aku mengatakannya sebagai orang Inggris asli. Bukan, aku termasuk ke dalam lingkaran yang mencintai sepak bola, maksudku "omong kosong" tersebut tidak berlaku bagi ayahku.

Mum bilang, Dad pernah menyukai sepak bola layaknya orang Inggris kebanyakan. Manchester United adalah klub favoritnya, seperti sesepuh keluarga Stanley lainnya. Namun, dia mulai membencinya setelah kakekku menjadi korban serangan penonton anarkis yang terjadi puluhan tahun silam hingga merenggut nyawanya.

Mimpiku sebagai pemain sepak bola tidak pernah didukung olehnya. Terutama peranku sebagai kiper. Terlepas dari trauma masa lalunya, menurut Dad hal-hal yang berkaitan dengan olahraga tidak menjanjikan, apalagi kiper yang hanya ada satu dalam tim. Apabila aku gagal menjadi kiper utama dan malah menjadi cadangan, kemungkinan kecil untuk bermain di pertandingan penting.

Aku mengerti apabila Dad melarangku karena traumanya, tetapi yang membuatku amat sangat kecewa adalah dia bahkan tidak mempercayaiku—anaknya sendiri. Aku selalu ingin membuktikan kepada Dad bahwa aku mampu dan layak menjadi kiper utama, seperti yang selama ini kulakukan untuk tim sekolah. Akan tetapi, Dad tidak memberi kesempatan itu. Dia tidak pernah datang ke satu pun pertandinganku.

Mum pernah merekamku selama pertandingan dan tebak ... Dad menyuruhnya untuk menghapus video itu. Mum dan Kate sudah mencoba meyakinkan Dad, tetapi dia tidak pernah menggubrisnya. Aku yakin meskipun Ratu Elizabeth II memberiku penghargaan sebagai kiper muda berbakat juga Dad tidak akan peduli.

Dad menutup mata dan hatinya.

"Andrew, kau harus bersiap untuk GCSE." Adalah kalimat "selamat tahun baru" dari Dad.

Aku baru saja keluar kamar setelah tertidur setengah hari. "Aku tahu," balasku. Masih berdiri tepat di depan pintu kamar. Terjaga sepanjang malam sungguh menguras energi. 

Dad menghampiriku dengan sebuah buku. "Baca ini. Buku tulisan temanku untuk arsitektur muda."

"Oke."

"Kau sudah dewasa, Andrew." Dad meraih tanganku untuk menerima bukunya. "Dan kau bijak dalam menentukan pilihan."

Aku benci ketika orang-orang berasumsi bahwa aku bijak dalam menentukan pilihan. "Terima kasih bukunya."

Aku kembali masuk ke dalam kamar. Rasa lapar kini lenyap dan berganti dengan kemuakkan yang bergejolak. Aku tidak membenci ayahku, aku hanya kecewa padanya karena tidak mempercayai kemampuanku.

Dad tidak pernah melakukan tindakan kekerasan, baik verbal maupun nonverbal. Dia sosok ayah yang baik dan bertanggungjawab kepada keluarganya. Aku tidak pernah sekali pun berpikir untuk membencinya.

Hubungan kami baik-baik saja sampai salah satu dari kami membahas sepak bola. Topik yang selalu kami hindari.

Entah aku harus bersyukur atau tidak, tetapi Dad tidak pernah mengomeliku apabila hasil nilai ujianku buruk. Tidak seperti ibunya Emre yang menghukumnya agar tidak menonton atau bermain bola sebelum, selama, dan setelah pekan ujian. Namun, lebih baik seperti itu. Ibunya Emre hanya melarangnya sesaat, kemudian mengizinkan Emre kembali melakukan hal yang disukainya.

Buku pemberian Dad kuletakkan di rak buku, bergabung dengan kumpulan buku yang tidak pernah kusentuh. Aku tidak suka membaca buku. Dad berusaha mencuci otakku dengan cara yang tidak kusukai. Bagaimana bisa berhasil?

Journal: The ReasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang