Epilogue

267 54 42
                                    

Tidak ada yang abadi di dunia; itu nyata, itu sebuah fakta, dan tidak ada yang bisa membatahnya. Namun, ada kalanya sebagai manusia—sebagai makhluk tidak abadi—memiliki keinginan untuk mengabadikan segala momen dalam hidupnya, bersama orang-orang yang mereka sayangi. Apabila bisa, mungkin mereka akan merekam setiap detik dalam hidupnya demi alasan yang berbeda, ada yang untuk diri sendiri, untuk dikirim ke orang lain. Apapun itu, hanya satu tujuannya: untuk mengenang momen yang sudah terlewat.

Ketidakabadian itu juga berlaku pada tempat. Kenangan yang tercipta di antara setiap insan manusia, juga ada kaitannya dengan tempat yang memainkan peran besar sebagai latar peristiwa tersebut.

"Aku pernah ke sana bersamanya."

"Itu tempat favoritnya."

"Dia menyatakan perasaannya padaku di sana."

"Kita akan bertemu lagi di tempat ini."

"Mereka berpisah di tempat itu."

Apabila sebagian besar orang di sekitarku hanya memiliki satu atau dua tempat spesifik yang mengingatkan mereka pada seseorang, maka yang kualami lebih dari itu. Bukan hanya satu-dua tempat, melainkan seluruh kota. Yang lebih parahnya, itu adalah kota kelahiranku, tempat aku tumbuh dewasa, menghabiskan hari-hariku. Tidak ada satu titik pun dari kota ini yang tidak mengingatkanku pada kehadirannya yang sudah absen lebih dari sepuluh tahun.

Kameraku membidik sebuah roda raksasa yang berdiri gagah di sisi selatan kota ini. Sekilas tidak ada yang berbeda dari London Eye, hanya sebuah bianglala raksasa yang menjadi tujuan utama para turis. Namun bagiku, London Eye bukan hanya ikon kota ini yang dikomersilkan sebagai tujuan wisata. Sesuai namanya, London Eye adalah mata dari kota London. Mata yang menjadi saksi pertama ketika sebuah kenangan tercipta. Mata layaknya lensa pada kamera.

Hampir setiap hari aku melewati London Eye dan sudah jutaan orang yang berpapasan denganku, berharap salah satu di antara mereka tampak familiar oleh memori yang tersimpan di dalam kepalaku. Hingga detik ini, keajaiban itu belum terjadi.

Ketika menonton film, tidak ada yang berubah meski kita menontonnya berulang kali. Kesenangan, kesedihan, ketakutan, kehilangan, kepahitan, semuanya selalu sama dan tidak ada yang bisa diubah atau berubah, sekeras apapun kau mencoba. Bahkan sutradara film itu sendiri tidak bisa melakukannya. Sama halnya dengan kehidupan nyata. Satu keputusan yang kau buat dapat berdampak besar dalam berlangsungnya alur kehidupanmu. Tidak ada tombol kembali, tidak ada jeda, semua mengalir tanpa ada yang tahu kapan atau bagaimana akhirnya.

Sebuah galeri bernama London Eye To Eye Gallery terletak di sudut Soho, West End, yang ramai dikelilingi oleh para pelancong terutama di musim panas. Di sini tersimpan ribuan kenangan tentang London. Beberapa merupakan hasil dari bidikan kameraku, terpajang rapi di dinding, tak lekang oleh waktu—itulah yang kusukai dari foto. Manusia bisa datang dan pergi; tempat bisa hancur dan direnovasi, tapi foto itu abadi.

"Good morning, Andrew," sapa Elaine, mahasiswi yang sedang magang di galeri milik Daniel, pamanku. "You came earlier today."

"Morning, Elaine. I need to go to Kensington," jawabku singkat lalu melenggang ke lantai dua galeri untuk mengambil charger ponselku yang tertinggal semalam.

Elaine menghampiriku. "Semeone’s looking for Daniel," katanya. "As long as I remember, nobody’s made an appointment to meet him today."

"Let me see."

Biasanya memang ada saja tamu yang datang sebelum membuat janji dengan Daniel, atau ada juga yang hanya sekadar datang untuk berkunjung. Tidak masalah sebenarnya karena Daniel tidak sebegitu sibuknya hingga butuh membuat janji untuk bertemu dengannya.

Seorang pria dan wanita berdiri berdampingan memandangi sebuah foto Regent Street dalam hitam-putih, satu-satunya yang berwarna adalah bus double decker dan telephone box merah ciri khas London. Ciri khas foto yang kuambil adalah seperti itu. Bukan karena London tidak berwarna, hanya saja sulit untuk menghilangkan jiwa merah dalam hidupku, yang juga melekat erat dengan simbol ikonik kota ini.

London is, always been, and forever, red.

"Welcome! I'm sorry we're just open. May I help you?"

Mereka berdua sontak membalikkan tubuh, mengalihkan perhatian mereka dari foto itu ke arahku yang berjalan menghampiri mereka. Langkah kakiku yang tadinya penuh dengan kepercayaan diri semakin melambat hingga pada akhirnya berhenti seolah-olah kakiku terpaku pada lantai kayu galeri. Mataku terkunci pada wanita yang berdiri di sisi pria itu. Keduanya tampak dekat, tentunya mereka kemari berdua, entah untuk tujuan apa yang memunculkan tanda tanya dalam benakku.

"Hi," pria itu membalas sapaanku, "do you work here?" Dia bertanya dengan santai seraya berjalan menghampiriku, sementara wanita itu sama denganku, berdiri kaku di tempat semula.

Do I work here? I don't know.

Bahkan aku sendiri tidak tahu mengapa aku justru berada di sebuah galeri foto di ujung jalan Soho, alih-alih di Stadion Emirates yang megah kebanggaan Arsenal di Islington seperti yang orang-orang ekspetasikan. Itu pasti yang ada di benak wanita itu, dia bertanya-tanya atas alasan apa aku berada di sini. Atau mungkin dia sudah menebaknya dan itu sebabnya dia datang ke galeri ini?

Aku memang berharap akan bertemu dengannya suatu hari di masa depan, di kota ini. Namun, bukan ini yang kuharapkan.

Bersama seorang pria asing di sisinya, seolah-olah sebagai tanda akhir dari kisah antara kami berdua?

Sebagai ucapan 'hello' dan 'goodbye' di saat yang bersamaan?

To be continued...

Journal: The ReasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang