40 | Avalanche

222 50 6
                                    

I was in the moment between a mass of snow, ice, and rocks falling rapidly down a mountainside and spreading like a wildfire across the land.

London - in the middle of winter and spring

Rumah Ashton memiliki halaman belakang yang lumayan luas dan dihias sedemikian rupa hingga terlihat seperti sebuah taman kecil untuk berpiknik. Terdapat sebuah meja panjang yang telah dipenuhi oleh berbagai macam makanan dan minuman yang tampak menggiurkan di awal musim semi. Ada sofa panjang dan kursi-kursi kecil yang menyebar, alat pemanggang barbeque, bahkan dua gawang kecil setinggi lutut kaki yang bisa saja menjadi malapetaka ketika bola ditendang oleh Ryan, entah akan mengenai tumpukan makanan atau kaca rumah Ashton. Aku bersyukur dia tidak harus menjebol gawangku pada setiap laga karena bisa saja tanganku putus dihantam bola tendangannya.

Kini keputusan Ryan berkuliah di jurusan jurnalistik alih-alih menjadi pemain bola profesional membuatku merasa lega. Aku tidak bisa membayangkan harus berhadapan dengan tendangan mautnya ketika dia bermain untuk Tottenham Hotspur sementara aku menjadi kiper Arsenal. Barangkali lebih baik aku dicadangkan saja setiap kami bertemu.

Ha. Seperti aku akan menjadi kiper Arsenal saja.

"Kau kenapa?" Emre yang berdiri di sebelahku bertanya, rupanya dia mendengar embusan napasku yang penuh keputusasaan. Telinga dan mata Emre semacam diberi anugerah lebih karena sangat sensitif dengan sekitarnya.

Aku menggelengkan kepala. "Aku lega pestanya tidak seburuk yang kubayangkan." Dan Emre hanya terkekeh mendengarnya, kami sama-sama tidak suka tempat ramai dan pesta termasuk ke dalamnya. Meski yang mengadakan pesta adalah orang terdekat, tetap saja ada rasa tidak nyaman.

"Mum yang menyiapkan semuanya. Katanya kita harus menjernihkan pikiran sebelum pertandingan yang akan datang." Ashton mengatakannya dengan keras agar terdengar oleh seluruh anggota futsal yang sudah menyebar ke setiap sudut taman. Kurasa dia ingin menekankan bahwa pesta yang sangat bukan dirinya ini merupakan ide ibunya. "Jangan bilang padanya tapi aku lebih suka kita hanya bermalas-malasan sambil bermain FIFA dan meminum coke."

"Bayangkan memiliki orang tua yang mendukungmu seratus persen," aku bergumam, berniat untuk hanya memberitahu Emre dan Ryan di sebelahku. Namun, keheningan membuatnya dapat mencapai Ashton yang berdiri agak jauh dariku.

"Kapan-kapan kita harus pesta di rumah Andrew, benar? Ayahnya seorang arsitek. Pasti rumahnya keren." Ashton menunjuk ke tempatku berdiri lalu menepukan tangannya, disambut oleh sorakan dukungan dari seluruh anggota tim futsal. "Kami tidak pernah ke rumah Stanley."

"Oh, jangan harap." Ryan angkat suara, dia mengambil segelas jus jeruk di meja terdekat dan menyeruputnya, membiarkan yang lain menunggunya dengan penuh penasaran. "Ayahnya mungkin akan menendang kalian satu-satu hingga terpental dari rumahnya."

Terjadi keheningan beberapa saat begitu mendengar ucapan Ryan, yang sejujurnya tidak enak didengar. Lidahku juga sama kelunya dengan yang lain. Sejauh ini yang tahu bahwa Dad tidak setuju aku terjun di dunia sepak bola hanya Ryan, Emre, dan Dave. Anggota futsal lain dan Coach Mason tidak tahu menahu. Mereka yakin betul takdirku menjadi kiper kelas dunia akan berjalan lancar tanpa rintangan barang sekecil batu kerikil pun.

Oh, Zevania juga mengetahuinya. Aku memberitahunya saat dia mewawancaraiku di Highbury Fields beberapa bulan lalu. Saat itu dia masih cukup asing bagiku, namun entah mengapa aku ingin membuatnya mengenalku dan aku percaya padanya. Terbukti tidak ada artikel tentang larangan Dad pada majalah sekolah. Informasi tersebut hanya dikonsumsi oleh dirinya sendiri.

Menyadari kesunyian itu, Ryan segera melanjutkan ucapannya. "Kalian kan sering membuat keributan. Rumah Andrew bisa berantakan dan sudah pasti ayahnya akan mengusir kalian. Saranku kita cari aman saja." Dia kembali meminum jus jeruknya.

Journal: The ReasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang