14 | Realised

779 127 51
                                    

Autumn - London

"I wish I could know more about you."

🍁

Dave benar-benar menganggapku tidak ada bahkan ketika kami mengadakan pertemuan dengan anggota baru dan berlatih sepulang sekolah. Ia adalah kapten tim kami dan aku adalah kiper utama. Komunikasi sangat penting. Aku tidak habis pikir dengan isi kepala seorang Dave Collins. Seharusnya ia bisa mengesampingkan urusan pribadinya dengan tim futsal.

Aku bahkan belum memberitahu Dave tentang keputusanku. Pilihan apa yang kupilih. Kalau boleh egois, aku sendiri berpikir bahwa sebenarnya aku tidak perlu memilih. Zevania belum sepenuhnya menjadi pacar Dave.

Pacar? Mengapa kata itu terlintas dalam benakku?

Ponselku bergetar. Muncul sebuah pesan dari Emre.

Emre Aksov : Kau serius tidak ikut ke rumah Dave?

Itu isi pesannya.

Dave memang mengajak seluruh anggota futsal--bahkan mereka yang baru bergabung--untuk ke rumahnya. Alasannya adalah agar kami, anggota futsal, semakin dekat dan kompak. Padahal sebenarnya aku tahu Dave bukan tipikal orang yang gemar mengajak orang lain ke rumahnya. Emre dan aku juga tidak begitu sering main ke rumah Dave.

Aku yakin ajakan ini ada kaitannya dengan pilihan yang Dave berikan padaku. Belum cukup Dave tidak mengacuhkanku pada sesi latihan, kini dia semakin mendesakku untuk cepat-cepat membuat keputusan.

Jika aku ke rumahnya, itu pertanda bahwa aku setuju dengannya dan terpaksa menjauhi Zevania. Namun, jika aku tidak ke rumahnya, Dave akan menganggap aku telah memulai perang.

Aku siap saja berperang dengan Dave. Namun, sayangnya aku kenal sekali dengan watak anak itu. Dave memiliki tipe pendendam jangka panjang. Ia juga bisa melibatkan orang di sekitarku untuk membalas dendam. Dalam kasus ini, aku mengkhawatirkan Zevania.

Gadis itu sudah cukup menjadi "korban" Dave dalam rangka pembalasan dendam pada Annika. Aku tidak ingin menambah masalahnya lagi. Menjadikannya tumbal atas keegoisanku.

Kurasa ini yang Dave sebut sebagai pilihan bijak.

"Dylan?" Terdengar jelas suara Zevania di tengah rintikan hujan.

Aku menoleh dengan hati-hati. Benar saja, Zevania berjalan di belakangku. Ia tidak sendiri. Ada Dylan di sampingnya dan ia ... memayunginya. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih di film romansa yang sering diputar Kate setiap liburan musim dingin.

Mempercepat langkah kaki, aku tidak ingin berpapasan dengan mereka terutama Zevania. Aku sudah berusaha keras untuk menghindarinya sebelum memutuskan pilihanku.

Sialnya, halte sepi pada saat itu. Mayoritas murid Islington High School sudah tidak ada di sekolah. Aku terpaksa menunggu bus karena tidak membawa skateboard. Hari ini aku diantar Dad ke sekolah. Ia memang ada urusan dengan Mr. Mason. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi perasaanku tidak enak.

"Hei, Andrew."

Oh, kesialanku makin menambah saja.

Tapi itu bukan suara perempuan.

Aku menoleh ke sumber suara. Zevania berdiri di sampingku, di sebelahnya ada Dylan yang baru saja selesai melipat payungnya. Pasti dia yang memanggilku. "Where are you going?" Aku berusaha keras menjaga suaraku layaknya seorang Andrew Stanley sehari-hari kendati kini aku merasa sedikit tertekan.

"Oxfam Books," Dylan menjawab singkat.

"Oh," balasku tak kalah singkat. Nyatanya di kepalaku kini muncul ratusan pertanyaan.

Journal: The ReasonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang