Autumn – London
Don’t you realise we saved each other that night?
🍁
“Wawancara man of the match itu akan semakin memudahkanku mendekati Zeva.”Kalimat itu terus terngiang-ngiang selama perjalanan dari sekolah menuju Sporty Jeezy. Sebelumnya aku tidak pernah peduli dengan title man of the match. Dave berhasil membuatku memikirkan bagaimana caranya menjadi bintang utama di laga melawan Rosebrown nanti. Bahkan sampai pada kemungkinan apa yang akan terjadi seandainya memang Dave yang menjadi man of the match dan Zevania mewawancarainya.
Ini semua diawali oleh percakapan yang diungkit oleh teman-temanku di ruang ganti setelah sesi latihan futsal untuk melawan Rosebrown.
“Kenapa wajahmu menekuk seperti itu? Ada berita buruk?” Rupanya Emre ingin memulai peperangannya dengan Ryan dengan melayangkan percakapan seperti itu. Mendengarnya, aku mengalihkan pandanganku dari loker pada Ryan yang kini duduk lesu di lantai. Bersender pada lokernya.
“Ya, sebuah kabar buruk,” Ryan menjelaskan penyebab dia tampak kehilangan gairah hidup. “Mikayla tidak akan menjadi pewawancara untuk man of the match nanti. Dia memberi kesempatan untuk gadis Asia itu sebagai proyek pertamanya.”
Aku, yang awalnya tidak begitu tertarik dengan penyebab perubahan emosi pada Ryan, menghentikan segala aktivitasku ketika mendengar Ryan menyebut kata “gadis Asia”. Begitu juga dengan Dave. “Maksudmu Zeva akan mewawancarai man of the match di laga melawan Rosebrown?”
Aku mengetahui apa yang ada di pikiran Dave.
“Kaupikir siapa lagi gadis Asia di tim majalah?” Ryan menimpali ketus, tampak tak ingin membahas ini lagi. Dia pasti ingin sekali Mikayla yang mewawancarai man of the match nanti.
“Kaupikir aku mengenal semua anak tim majalah?” balas Dave tak mau kalah. Dia menutup lokernya dengan cukup keras. “Lagipula meskipun Mikayla yang jadi pewawancaranya, belum tentu dia mewawancaraimu, Ryan. Let’s be real here.” Dave menepuk bahu Ryan sebelum meninggalkan kami dan melanjutkan, “Baguslah. Wawancara man of the match itu akan semakin memudahkanku untuk mendekati Zeva.”
“Andrew!” Suara Emre mengembalikan pikiranku yang melayang ke mana-mana. “Apa yang kaupikirkan?”
“Apa?” Aku berpura-pura bersikap biasa saja. Aku tidak bisa memberitahu Emre bahwa kalimat Dave di ruang ganti mengganggu pikiranku.
“Kau melamun dalam keadaan berdiri di bus. Sepanjang perjalanan.”
Bus berhenti tepat di halte seberang lapangan basket dekat café milik keluarga Emre. Perhatian Emre pun teralihkan. Kami harus melewati beberapa bahu untuk keluar dari bus yang dipenuhi oleh orang-orang berjas yang baru pulang kerja.
Emre menepuk pundakku saat kami berada di depan tokonya. “Apapun yang ada di pikiranmu, cari jalan keluarnya dengan bijak. Kau sudah dewasa, Andrew. Kau tahu mana yang baik dan buruk untuk hidupmu.”
Kalimat nasihat yang baru saja keluar dari mulut Emre benar-benar membuatku tercengang. Dia memberatkan suaranya dan menatapku layaknya pria setengah baya yang telah merasakan manis dan pahitnya hidup. Aku memilih untuk diam dan tidak menanggapinya.
“PIKIRKAN BAIK-BAIK!”
Aku tidak perlu repot-repot menolehkan kepala untuk melihat ekspresi Emre. Dia tahu aku sedang memikirkan sesuatu karena aku bukan tipe orang yang melamun dalam perjalanan. Dia sangat mengenaliku. Namun, untuk saat ini aku belum bisa menceritakan apa-apa padanya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journal: The Reasons
Genç Kurgu[BOOK #2 OF THE JOURNAL SERIES] Andrew Stanley tidak pernah menulis jurnal sebelumnya, dia benci membaca dan menulis karena menurutnya membosankan. Hobinya adalah bermain sepak bola dan tujuan hidupnya hanya satu: menjadi seorang kiper profesional y...