Chapter 11

7.2K 737 51
                                    

Pukul sebelas siang kini

Di dalam ruangan megah yang di penuhi lukisan Asma Allah, dan beberapa tokoh islami. Disitu terlihat Adwan yang duduk berhadapan dengan seorang pria paruh baya yang mengenakan gamis putih dan sorban yang menyelempang rapi di bahunya. Ya, Adwan kini tengah berhadapan dengan pimpinan utama ponpes Al-fatah, Ayahnya sendiri.

"Ayah mendengar beberapa rumor tak enak tentang kamu, bisa kamu jelaskan ke Ayah tentang rumor itu?"

Adwan mengernyit kebingungan "Rumor apa, Ayah?"

"Kamu dan putri investor ponpes kita ini."

"Kenapa Ayah mendengar rumor murahan semacam itu. Adwan gak ada hubungan apa-apa sama dia, Adwan cuma ngebantu dia aja beberapa kali."

"Tapi Ayah dengar langsung dari para santri kalau kalian akhir-akhir ini kemana-mana berdua."

"Bukannya Ayah khawatir jika kamu berbuat yang aneh-aneh, bukan! Ayah tau persis kamu gimana orangnya. Tapi Nak, perlu kamu ingat jika setengah dari diri kamu sudah terikat untuk menjadi milik orang lain."

"Wulan! Jangan kamu kecewakan anak baik itu."

"Pun, Kamu juga tau kan gimana baiknya hubungan pertemanan Ayah sama Abinya Wulan. Jadi jangan sampai rumor ini bertambah luas, bisa-bisa Ayah segan nanti menatap Kyai Hasan. Kamu kan tau sendiri bagaimana dia menyayangi Wulan."

Adwan tak menjawab, pandangannya terlihat berat.

"Tinggal sebentar lagi, tetapkan hati kamu. Setelah kalian lulus tahun depan, kalian akan langsung dihadapkan dengan pernikahan."

"Tapi Adwan gak pernah setuju dengan perjodohan ini, Ayah" lirih Adwan dengan tatapan takut.

"Tolong jangan kecewakan Ayah Nak. Perjodohan kamu dan Wulan adalah janji masa muda Ayah dengan Kyai Hasan dahulu."

"Tapi, Ayah...."

"Ayah tau putra Ayah tidak akan pernah mengecewakan Ayahnya sendiri."

Sungguh, Adwan tidak tahu harus berdalih apa. Ia tidak bisa menentang, dan mungkin tidak akan mau melakukan itu, karena sedari kecil ia adalah seorang yang selalu dibimbing dengan kepatuhan. Sehingga dewasanya kini tumbuh menjadi anak yang teramat patuh dengan kemauan orang tuanya. Bahkan bisa terbilang jika ia tumbuh besar dalam kekangan, tak pernah dibiarkan menemui inginnya. Mungkin itu juga penyebabnya kenapa ia bersikap dingin begini, karena tidak diajarkan bersosialisasi. Pun, ia baru mengenal teman setelah masuk ke ponpes ini, bertemu dengan Syaqib dan Fauzan. Kalau Aidan memang sepupunya, sudah ia kenal sedari kecil.

"Kamu tau kan Nak apa maksud Ayah? Jauhi putri investor itu. Ingat! Setengah dari diri kamu sudah terikat untuk mejadi milik orang."

Adwan berdiri dari tempat duduknya, menatap Ayahnya dengan tatapan malas "Iya, Ayah."

Setelah mengucapkan kata itu, ia langsung berlalu dari ruangan itu. Menyusuri koridor ponpes, hendak kembali ke kamarnya. Berjalan menunduk, bak raga tak berjiwa.

Hupp

Saras muncul di hadapannya, entah darimana perempuan ceria itu datang.

"Chagiiii," sapaannya selalu terdengar riang

Sedikitpun Adwan tak menggubris. Tatapan dinginnya kian menyorot, napasnya sedikit memburu.

"Chagiyaa, mau kemana?"

Adwan menepi, dan mempercepat langkahnya.

Demikian dengan Saras yang tetap mengintil, berpikir bahwa itu adalah masih sosok yang sama seperti di hari-hari sebelumnya.

Saranghaeyo, Gus Tampan [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang