Chapter 14

7K 751 94
                                    

Ceklek

Fauzan membuka pintu kamar. Dan mereka mendapati Adwan yang lagi-lagi mengurung dirinya dalam balutan selimut.

Hari ini adalah hari Minggu. Jadi, kelas free. Biasanya hari Minggu begini mereka hanya akan tiduran saja di kamar kalau mereka tidak pulang. Kebetulan Minggu ini tidak ada yang pulang di antara mereka. Biasanya Syaqib yang sering pulang. Tapi sepertinya ia tidak enak meninggalkan Adwan, sehingga memilih untuk menemani saja.

"Wan," Aidan mendekati Adwan ke kasurnya, duduk disebelah Adwan yang memunggunginya.

Adwan tak menggubris sama sekali, tertidur atau bagaimana?

"Wan," suara Aidan terdengar lembut.

Hiks

Isakan samar terdengar, sangat samar.

Mata Aidan membulat, jarinya langsung ia gigit. Terlihat sangat tak biasa.

"Kenapa?" tanya Syaqib hanya dengan lafalan, tidak bersuara.

"Nangis," Aidan balas melafal, tak bersuara juga.

Sontak, Mata Syaqib dan Fauzan juga membulat. Seperti menghadapi kemustahilan. Lalu, mereka ikut mendekat ke samping Adwan.

Ya, bagaimana pun Adwan hanyalah seorang remaja labil yang dipaksa tumbuh dewasa dengan menghadapi pertunangan.

"Wan," panggil Aidan lagi.

"Wan, kamu gak mau cerita?"

"Apa ini tentang Saras lagi?"

"Benar? Ini tentang Saras kan?"

Namun, Adwan sama sekali tak menaggapi lontaran Aidan. Ia tetap seperti posisi semulanya.

"Wan, kamu harus cerita" Aidan tetap membujuk.

Kali ini Adwan menyingkap selimutnya, memperlihatkan wajahnya. Ah, benar-benar sembab.

Sungguh, ketiga sahabatnya tidak tahu harus bereaksi apa melihat keadaan Adwan yang mengenaskan.

"Kenapa? Apa dia kembail?" lirih Adwan terdengar parau.

Tiga sahabatnya saling menatap. Dalam benak masing-masing, mereka tidak menyangka jika Adwan ternyata benaran serius dengan perasaannya. Sampai-sampai ia menggila seperti ini.

Aidan menggeleng "Dia kan udah pergi, Wan."

Terlihat senyum getir Adwan "Benar, aku yang membuatnya pergi."

"Kenapa bisa sampai gini sih Wan? Tolong cerita ke kami, biar kamu tau harus berbuat apa. Gak enak kamu diam sendirian begini. Kalau kamu emang anggap kami teman, kamu pasti mau cerita."

"Ayah, Ayah ngelarang aku buat dekat sama dia. Katanya Wulan bisa sakit hati," lirih Adwan dengan tatapan kosongnya. Dan dengan posisi tidurannya yang dikelilingi tiga sahabatnya.

Aidan tampak menghela napas. Sedangkan, Syaqib dan Fauzan saling melempar pandang kaget. Ya, mereka kaget karena selama ini mengira bahwa Adwan bersyukur menjadi calonnya Wulan, ternyata tidak sama sekali.

"Jadi, kamu bilang apa ke Saras?" sambung Aidan yang memang terlihat paham sedari awal.

"Aku nyuruh dia jauh-jauh dari aku, karena dia udah menjelekkan nama aku di ponpes ini. Padahal aku gak masalah soal itu sebenarnya, malahan aku senang tiap kali dia menyapa dan merepotkan aku. Tapi aku gak punya cara lain, aku takut dengan Ayah. Dan aku juga gak nyangka kalau dia bakalan sampai pindah gini."

"Kemarin pas malam-malam di dapur, dia juga bilang gak suka sama ponpes ini, dan bakalan pindah. Tapi aku kira gak serius. Dan nyatanya aku sendiri yang malah menguatkan niatnya buat pindah, sampai dia benar-benar pergi."

Saranghaeyo, Gus Tampan [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang