Chapter 15

7.8K 740 83
                                    

Di sela hari pukul 11 siang, beriring mendung tipis mengitari cakrawala. Sehingga pengap kian terasa.

Adwan kini tengah berada di ruangan Ayahnya. Berhadapan bukan dengan Ayahnya saja, melainkan di situ ada sepasang suami istri dan satu putri mereka. Ya, Wulan dan kedua orang tuanya.

Abi Wulan tampak menatap sumringah satu persatu orang di ruangan itu, hingga akhirnya ia mengutarakan maksudnya "Jadi begini Adwan, Wulan. Tujuan kita memanggil kalian berdua adalah tidak lain untuk membicarakan soal pernikahan kalian, tepatnya menetapkan tanggal pernikahan."

Srep

Mata Adwan membulat, ke-engganan dari dirinya menyeruak jelas.

"Kenapa tiba-tiba?" auranya terlihat dingin.

"Begini Nak Adwan. Abi sudah menghitung total hari belajar kalian di ponpes ini sampai menemui perpisahan di kelas 7 nanti, dan tersisa sekitar 6 bulan lagi. 1 bulan lagi kan kalian akan kenaikan kelas ke kelas 7. Dan di kelas 7, kalian hanya akan memakan waktu sekitar 5 bulan. Nah maka dari itu, kita harus mempersiapkannya dari sekarang, jangan bertele-tele lagi."

Adwan tampak nol reaksi, sedangkan yang lainnya bersambut bahagia, terutama Wulan.

"Oh tentu saja, Hasan. Kita akan mempersiapkannya sematang mungkin. Adwan mungkin sudah tidak sabar lagi, iya kan Wan?" Ayahnya angkat bicara.

Adwan tak menjawab, malahan ia menatap malas Ayahnya. Tidak seperti biasanya yang selalu mengatakan "Iya."

"Kenapa dengan anak ini?" batin Ayahnya menyelidik. Terlihat tidak suka dengan sikap Adwan.

"Jadi begini, Ashari. Kemarin saya juga sempat mencari hari baik atas pernikahan ini, dan jatuh pada hari senin di minggu pertama setelah kelulusan mereka 6 bulan mendatang. Jadi bagaimana kalau pernikahan kita tetapkan saja di hari itu? Supaya kita bisa fokus mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang."

"Saya setuju, Hasan. Bukankah ini yang kita tunggu-tunggu selama ini, menjadi besan. Haha."

"Benar sekali, Ashari. Akhirnya kita akan menjadi keluarga murni sebentar lagi, haha."

Lalu tampak Umi Wulan yang menatap ke arah Adwan "Nak Adwan, kemarin Umi sudah melihat-lihat beberapa rancangan baju pengantin. Kita sudah bisa menempah dari sekarang, bisa beritahu Umi ukuran baju kamu? Supaya desainer-nya bisa segera mengerjakan."

"Tanya Ibu saya saja, saya tidak tau."

"Saya permisi, saya ada kelas di jam ini," tanpa menunggu persetujuan, Adwan langsung beranjak."

Semua mata menyorot kaget ke Adwan, kaget dengan sikapnya yang tiba-tiba arogan. Selama ini ia adalah sosok penurut di hadapan mereka, pantas saja jika mereka kaget.

"Ada apa sebenarnya dengan anak itu?" batin Ayah Adwan lagi, sembari menatap tak enak terhdap keluarga di hadapannya kini.

***
Adwan memilih berteduh di bawah pohon mangga. Bohong dengan ada kelas yang ia katakan barusan, ia hanya malas mendengarkan ocehan orang-orang egois itu.

Di bawah langit mendung, beriring sepoi tak menentu. Ia larut dalam pikiran kelabu yang menerawang jauh.

"Kenapa kamu gak kembali? Apa kata-kata ku kemarin begitu menyakitimu?"

"Gak adil, kamu memanggilku Sayang tanpa sepengetahuanku. Lalu kamu menghilang tanpa mempertanggung jawabkan semua rasa yang udah kamu perbuat."

"Ah, aku lupa. Aku yang udah buat kamu pergi. Tapi, apa kamu gak bisa kembali lagi, aku ingin membawamu pergi."

"Ya Allah, aku menginginkan wanita lain, bukan wanita yang disodorkan paksa oleh orang tuaku."

"Bukan maksud hamba menjelekkan ciptaanmu, Ya Allah. Tapi hamba memang tidak menyukainya dari segi apapun. Bukankah pasangan hidup itu perihal menenangkan rasa saat dipandang? Lalu bagaimana bisa aku mendapatkan rasa itu darinya di saat rasaku sendiri sudah ber-pemilik."

Saranghaeyo, Gus Tampan [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang