Chapter 33

6.5K 733 76
                                    

Malam hari kian menyapa, gemerlap bintang bertabur indah di angkasa. Kini jarum pendek menunjuk di angka delapan, adzan isya sudah terlewat sedari satu jam yang lalu.

Ada Kyai Ashari yang sedang menyetir mobil, di sampingnya ada istrinya yang terlihat begitu anggun. Lalu di belakang mereka ada putra tunggal tampan mereka, Adwan. Ya, mereka sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah Saras. Wajah Adwan benar-benar terlihat berseri, bahkan ia tersenyum ramah ke pepohonan yang ditemuinya di sepanjang jalan, hmm.

Sedangkan dalam suasan lain, terlihat Papa Saras yang baru masuk rumah. Rupanya tidak langsung pulang setelah menerima raport Saras tadi, ia masih harus melanjutkan pekerjaan di kantor. Kini ia tengah duduk di sofa, melepas penat sebentar.

"Air hangatnya sudah Mama siapin Pah kalau mau mandi sekarang," Mama Saras datang menghampiri, dan mengambil posisi duduk di sebelah suaminya itu.

"Makasih ya Mah."

"Oh iya, hasil raport Saras gimana Pah? Dia naik kelas kan?"

"Papa tidak tau harus senang apa sedih."

"Loh, kenapa Pah?"

"Saras dapat juara dua Mah, nih Mama lihat."

"Hah!!" reaksi kemustahilan dari Mama Saras juga.

"M-masa sih Pah?" dengan setengah nyawa ia memberanikan diri memeriksa raport Saras.

"Masyaa Allah, benar Pah!! Aduh, Mama harus gimana ini, pokoknya besok Mama mau pamer ke teman-teman arisan. Harusnya tadi Mama yang datang, biar tau gimana rasanya maju ke depan."

"Mama lupa apa kata Saras? Semua ujiannya, Adwan yang ngerjain katanya kemarin. Jadi, ini artinya sama dengan nol."

"Nol apanya sih Pahh!! Ya intinya dia tetap membuat bangga Papa kan tadi di antara ribuan orang tua santri yang berdatangan."

"Iya j-juga sih Mah, tapi..."

"Tapi apa lagi sih Pah, pokoknya Mama bangga banget sama putri Mama itu. Bisa berteman dengan orang semacam Nak Adwan juga merupakan suatu skill luar biasa, gak sembarangan orang bisa berteman dengannya. Tapi Saras, ia bisa dengan akrabnya berteman dengan anak Kyai itu. Bahkan sampai mau mengerjakan ujiannya."

"Iya iya, Mama menang."

"Duh, tidak sia-sia Mama melahirkan Saras berparas cantik. Kayaknya indah sekali hidup Mama kalau orang semacam Nak Adwan bisa jadi menantu Mama, haha."

"Kalau itu udah ketinggian Mah, bangun! Pas kemarin-kemarin yang dibilang Kyai Ashari soal Adwan dan Saras itu hanya basa-basi, yang pas ada inseden nikah massal."

"Iya iya, Mama tau. Lagian keluarga mereka pasti memandang garis keturunan kan."

"Iya Mama Saras tersayang, makanya jangan bermimpi seperti tadi lag...."

Ting tong

Bunyi bel rumah tiba-tiba.

"Bukain, Mah."

"Siapa, Pah?"

"Ya makanya dibukain dulu Mamaku sayang."

"Yasudah, bentar."

Ceklek

Mama Saras membuka pintu, dan menampakkan wajah keluarga Adwan.

"Halo, Mama Saras. Sehat ya?" sapa akrab dari Ibu Adwan.

"Loh, Ibu Adwan! Ya ampun, tidak disangka. Sehat Alhamdulillah."

"Mari...mari, kita masuk dulu."

"Siapa, Mahhhh?" teriak Papa Saras dari ruang tengah.

Saranghaeyo, Gus Tampan [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang