1. Hari terakhir bekerja

671 55 8
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

“Ini kembaliannya, Pak, terima kasih. Selamat berbelanja kembali.”

Aku menyerahkan uang kembalian dengan gambar pahlawan Pattimura kepada seorang pelanggan minimarket yang baru kulayani. Tak lupa, sebuah senyuman manis kuberikan kepada pembeli agar tidak menghilangkan kesan ramah. Sudah menjadi rutinitas setiap hari untuk tersenyum ketika bertemu dengan pembeli, sekalipun aku sedang dalam mood yang tidak baik. Ya, mau bagaimana lagi, namanya juga pekerjaan.

Setelah bapak tadi pergi, aku tetap mempertahankan senyum pada pembeli berikutnya. Pembeli kali ini masih muda—mungkin seusiaku. Ia meletakkan barang belanjaannya ke atas meja kasir. Aku mengambil satu per satu barang belanjaannya lantas men-scan barcode yang tertempel di bungkus  barang tersebut di mesin kasir. Setelahnya, aku segera memasukkan barang itu ke kantong plastik putih—berlogokan nama minimarket tempatku bekerja—yang telah kuambil. Aku melakukan kegiatan serupa beberapa kali, hingga barang belanjaan yang ada di meja kasir berpindah semua ke dalam kantong plastik.

Aku menyebutkan jumlah nominal yang tertera di mesin kasir untuk dibayar pembeli cantikku kali ini. Ia menyerahkan selembar uang kertas dengan wajah Soekarno-Hatta yang tengah tersenyum manis kepadaku.

“Ini kembaliannya, Kak. Terima kasih. Selamat berbelanja kembali.”

Aku menyatukan kedua telapak tanganku dan tersenyum kepada pembeli terakhir yang kemudian berjalan keluar dari pintu minimarket. Hari sudah larut. Bang Bhanu sedari tadi sudah siap hendak menutup pintu minimarket. Maka dari itu, hanya dalam sekali tarikan, pintu besi itu sudah tertutup sempurna.

Aku duduk di kursi dan menarik napas panjang secara perlahan. Aku menyeka keringat dengan tanganku sebelum akhirnya kembali menyibukkan diri untuk menghitung uang yang terkumpul hari ini di laci yang terbagi menjadi enam bagian itu. Namun, kegiatanku tidak berlangsung lama ketika namaku mendadak dilayangkan di udara. Aku mendongakkan kepala dan mendapati kak Sari—teman seperjuanganku sebagai kasir yang tentunya lebih senior—berdiri di hadapanku.

“Ada apa, Kak?” tanyaku kepada Kak Sari setelah memberhentikan aktivitasku.

“Kamu dipanggil sama bos tuh.”

Aku menganggukkan kepalaku atas-bawah sebanyak dua kali kepada Kak Sari. “Oh, bentar, Kak. Aku mau hitung uang dulu,” ujarku lantas hendak kembali menghitung lembaran rupiah yang ada di tanganku. Akan tetapi, Kak Sari mengatakan biar ia saja yang menggantikan tugasku saat ini. Kak Sari bilang, bos sudah menungguku di ruangannya. Ada yang penting, begitu ujar Kak Sari menyampaikan ulang perkataan dari bos.

“Okedeh, Kak. Aku tinggal dulu ke ruangan bos, ya.” Setelah berucap demikian, aku segera beralih dari tempat dudukku dan berjalan melewati rak-rak minimarket. Aku segera naik ke lantai dua—lantai tempat ruangan bos berada—untuk menemui bos. Sesampainya di depan ruangan, perlahan kuketukkan jemariku di pintu hingga suara sahutan dari dalam terdengar dan memberikan titah kepadaku untuk masuk.

“Permisi, Pak Anton,” ujarku dengan sopan setelah membuka pintu ruangan. Pak Anton adalah nama bosku. Usianya terpaut lima belas tahun dariku. Namun, kadar ketampanannya tidak sedikitpun luntur. Pak Anton sendiri sudah mempunyai istri. Namanya Bu Cantika. Sesuai dengan namanya, Bu Cantika memiliki paras yang begitu cantik. Ia juga memiliki body goals yang benar-benar membuatku iri. Padahal, Bu Cantika sudah mempunyai tiga orang anak.

“Silakan duduk, Hafika.”

Aku mengangguk lantas duduk di kursi dengan sandaran empuk yang ada di hadapan Pak Anton. Pak Anton terlihat tengah sibuk, mengingat sedari aku masuk ke ruangan ini, ia sama sekali belum mengangkat wajahnya.

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang