20. Permulaan

104 14 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

“Bu Halimah cerita apa aja soal gue?”

Aku baru saja mendaratkan tubuhku saat Haydan menyerangku dengan pertanyaan itu.

Saat ini, kami berada di pinggiran jalan untuk menikmati air kelapa muda segar. Keadaan matahari yang meninggi siang ini membuatku dahaga. Dan,—mungkin—dengan tidak tahu dirinya, aku meminta Haydan untuk memberhentikan mobilnya secara mendadak di depan abang-abang yang menjual air kelapa.

Beruntungnya, hari ini Haydan tengah berbaik hati sehingga ia menuruti permintaanku tanpa melayangkan suatu protesan apa pun.

“Ya, semuanya. Soal kamu yang pernah tinggal bersama bu Halimah dan suami sampai kamu yang kembali ke orang tua kandung kamu.”

“Bu Halimah juga cerita soal gue yang dibuang ke sana?”

“Iya.”

“Jadi?”

“Jadi apanya?”

“Pandangan lo terhadap gue.”

“Ya, biasa aja. Sama kayak sebelum-sebelumnya.”

Perbincangan kami terhenti saat abang penjual kelapa datang. “Ini kelapanya, Neng, Mas. Silakan dinikmati. Panas-panas begini, teh, emang paling enak minum air kelapa. Segerrr,” ujarnya dengan begitu antusias yang membuatku tersenyum.

“Terima kasih,” ucapku. Aku menatap air kelapa di hadapanku dengan penuh selera, meraih sedotannya lantas menyeruput airnya.

“Kenapa bisa lo bersikap biasa aja setelah tahu cerita masa lalu gue?” tanya Haydan yang membuatku berhenti menikmati air kelapa.

Aku berdeham sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu. “Memangnya, kamu mau aku bersikap kayak gimana? Ngasihanin kamu gitu?” tanyaku yang sepertinya mampu membuat Haydan bungkam. “Tapi, setelah aku pikir-pikir, kamu bukan tipikal orang yang suka dikasihani. Bukan begitu?”

“Iya juga,” jawabnya. “Tapi—”

“Aku paham,” ujarku menyela kalimatnya. “Aku paham maksud kamu. Aku bersikap biasa aja ke kamu bukan berarti aku nggak merasa simpati dengan apa yang menimpa kamu di masa lalu, Dan. Lebih tepatnya, aku bersikap biasa aja karena aku nggak mau kembali membuat kamu kepikiran dengan semua itu. Aku paham, kok, rasanya. Nggak mudah untuk kamu berdamai dengan masa lalu kamu. ”

Aku memberhentikan kalimatku untuk menarik napas panjang, sebelum kembali berbicara. “Karena, aku juga pernah ngalamin semua itu, Dan. Mungkin, cerita kita berbeda. Tapi, yang jelas, kita sama. Sama-sama pernah mempunyai masa lalu yang cukup pahit untuk masing-masing dari kita.”

“Lo ... ada apa dengan masa lalu lo?”

Aku tersenyum kecil, memilih untuk mengalihkan pandanganku dari Haydan. Rasa-rasanya, air mataku hendak tumpah saat ini. Namun, aku berusaha untuk membendungnya dengan tidak melarutkan cerita itu bersama Haydan sekarang. “Sorry, untuk sekarang, aku belum bisa cerita,” ujarku.

It's okay. Gue juga nggak maksa lo buat cerita. Tapi, satu hal yang perlu lo ingat baik-baik, bahwa tidak semua cerita itu diciptakan untuk kita pendam sendirian. Terkadang, ada cerita yang memang harus lo bagi. Entah itu ke orang tua lo, ke teman, atau ke siapa pun itu. Karena, dengan lo berbagi cerita ke orang lain, beban lo akan menjadi sedikit lebih berkurang. Trust me.”

Aku tertegun mendengar kalimat Haydan kali ini. Karena, untuk pertama kali sejak aku mengenalnya, aku baru mendengar lelaki itu berbicara dengan kalimat yang panjang.

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang