21. Ancaman keras Marinka

102 12 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Aku mengucapkan terima kasih kepada Haydan yang membantuku memapah Buna untuk duduk di kursi ruang tamu. Kaki Buna sedikit terkilir akibat kecelakaan tadi, maka dari itu sedikit kesulitan untuk berjalan sendiri.

Setelah Buna duduk, aku lalu mengantarkan Haydan yang berniat pulang ke depan. Ucapan terima kasih sekali lagi aku lontarkan pada lelaki itu, karena telah cukup banyak membantuku hari ini.

"Lama-lama, gue eneg denger kata makasih dari lo," katanya yang tak menghiraukan ucapan terima kasihku.

"Dih, songong banget, sih, jadi orang," cibirku tidak terima.

"Heh, bukannya songong. Kalau kata makasih lo itu bisa diuangkan sih mending. Lah ini? Nggak bisa, kan?"

Aku mendengus kesal. Padahal, baru beberapa waktu yang lalu saat aku memuji kemurahan hati lelaki ini. Namun, sekarang ia sudah kembali pada sifat menyebalkannya saja.

"Udah, deh, kalau mau pulang, buruan pulang. Bikin emosi aja," omelku kepada Haydan yang sekarang tengah tertawa. Entah hal lucu apa yang ia tertawakan, yang jelas, sekarang mood-ku sedang tidak bagus.

"Lo lucu kalau lagi ngomel-ngomel gitu," ucapnya yang aku sendiri tidak tahu, apakah itu merupakan kalimat pujian atau hinaan.

"Ya udah, karena lo udah ngusir, gue balik dulu."

Aku melipat kedua tanganku sebatas dada seraya melihat lelaki itu yang berjalan untuk masuk ke mobilnya. Tak lama setelah itu, kaca jendela mobilnya turun. Kepalanya ia miringkan untuk dapat melihatku dan tersenyum miring.

"Gue balik dulu. Jangan kangen," ujarnya yang diakhiri dengan sebuah kedipan mata.

Aku hendak melemparnya dengan batu yang kupungut sembarang di depan rumah jika saja ia tidak segera menutup kaca mobil dan menjalankan mobilnya pergi.

Aku berjalan masuk ke dalam rumah dan langsung disambut Buna dengan senyum kesengsemnya.

"Buna kenapa? Sakit?" tanyaku dengan polos.

Buna menggelengkan kepalanya. "Anak Buna udah pandai, ya, sekarang."

Aku membelalakkan mataku dan sontak berteriak, "BUNAAA!"

🍀🍀🍀

Setelah Buna beristirahat, pikiranku kembali menerawang ke isi pesan yang kudapat di puskesmas tadi. Siapa pengirim pesan itu? Dan, apa tujuannya mengirimkan pesan itu?

Apa jangan-jangan hadiah yang dimaksud oleh si pengirim pesan adalah kecelakaan yang menimpa Buna?

Apa ini ada kaitannya dengan isi surat di amplop putih waktu itu? Kalaupun ada, apa ... ini adalah ulah Marinka?

Tidak ingin menduga lebih banyak, aku mencoba untuk menelepon ke nomor tadi. Namun, nihil. Tidak ada jawaban selain suara operator yang mengatakan bila nomor yang kutuju tidak terdaftar di mana pun. Sepertinya, si pengirim pesan telah melenyapkan nomor tersebut agar aku tidak bisa menelepon bahkan melacak keberadaannya.

Aku mengacak rambutku frustrasi. Kenapa sekarang hidupku terkesan tidak tenang?

Sepertinya, aku tidak bisa membiarkan masalah ini terus berlarut. Aku harus menemui seseorang. Seseorang yang kupercaya merupakan dalang di balik ini semua.

Seseorang yang kuyakini ialah ... Marinka.

🍀🍀🍀

Aku baru merealisasikan niatku untuk menemui Marinka pagi ini. Kondisi Buna yang sedikit mengkhawatirkan membuatku tidak berani untuk meninggalkan Buna sendirian kemarin.

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang