34. Cerita di tepi sungai

90 15 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Aku tidak bisa menahan tangisku untuk pecah ketika mengingat kembali ucapan mama Marinka tadi.

Anak yatim? Memangnya, ada apa dengan anak yatim? Mengapa kesannya seolah anak yatim tak pantas mendapatkan hal-hal yang baik? Padahal, anak yatim tidak salah. Mereka menjadi yatim bukan karena keinginan, melainkan karena takdir. Takdir yang sudah direncanakan oleh Sang Pencipta. Lantas, apa harus mereka direndahkan seperti itu?

“Nggak usah dengerin omongan mereka soal lo. Kadang, manusia emang cuma pandai ceplas-ceplos tanpa memikirkan konsekuensi dari ucapan mereka.”

Itu ialah kalimat pertama yang Haydan lontarkan setelah cukup lama ia membiarkanku menenangkan diri di tepi sungai. Ya, lelaki itu sengaja membawaku kemari.

“Supaya lo bisa nenangin diri lo sebelum pulang. Gue nggak mau nantinya diintrogasi sama nyokap lo karena udah buat anak gadisnya nangis,” ujar Haydan kala aku menanyakan perihal keberadaan kami sekarang.

Aku melempar sebuah batu yang aku pungut di tanah ke sungai. Suara batu yang tercemplung seolah menjadi musik penenang bagi malam ini. Matahari baru saja pamit pulang lewat sinar jingganya, dan sekarang keadaan langit sudah menghitam. Tidak ada bintang yang bersinar malam ini, mungkin cakrawala tengah marah pada seisi penghuni bumi sehingga ia memilih tidak menampakkan lukisan bintang-bintang dikanvasnya.

Sorry,” celetuk Haydan lagi. Kali ini, aku memilih untuk menatapnya. Wajah lelaki itu terlihat berkilau ditimpa oleh cahaya lampu yang merupakan satu-satunya penerang, selain bulan berbentuk sabit di atas sana.

“Untuk apa?”

“Untuk kalimat menusuk yang harus lo dengar tadi.”

Aku tersenyum pahit. “Nggak pa-pa. Faktanya memang begitu, kan? Aku anak yatim, Dan. Aku nggak bisa mengelak soal itu.”

“Tapi, lo bisa ngelak soal anak yatim yang kurang didikan.”

Aku menatap dalam mata Haydan yang kini juga tengah menatapku.

“Harus gue akui, didikan nyokap lo itu hebat. Beliau berhasil membimbing anaknya menjadi seorang yang benar-benar terdidik, baik dari cara bertutur kata, sampai cara berperilaku,” lanjutnya yang membuatku semakin dilanda kebingungan.

“Bukannya setiap orang tua juga bertugas untuk ngedidik anaknya?”

“Setiap orang tua memang ditugaskan buat ngedidik anaknya, tapi nggak semua berhasil ngedidik anak mereka jadi orang yang terdidik, Nay. Salah satunya, ya, harus gue akui, orang tua Marinka. Mereka gagal ngedidik anak mereka dengan baik.”

“Kamu nggak berhak mengecap orang tua Marinka kayak gitu, Dan.”

“Kenapa lo bilang kayak gitu? Lo kenal Marinka?”

“Maksudnya?” Mendadak, feeling-ku menjadi tidak baik. Mengapa Haydan bertanya seperti itu?

“Nay, lo kenal Marinka. Iya, kan?”

“Ya, jelas kenal. Marinka kan calon tunangan kamu.”

Haydan tersenyum lantas menggelengkan kepalanya. “You knows her more,” katanya yang seketika kehilangan setiap kalimatku.

Haydan mendaratkan kedua tangannya di bahuku, mencengkeram dengan sedikit tenaga, dan menatapku dengan penuh pertanyaan. “Nay, Marinka itu siapa lo? Gue yakin, jauh sebelum lo kenal sama gue, lo udah kenal duluan sama Marinka, kan?”

“Aku ngg—”

“Nay, jujur sama gue. Sekalipun lo ngaku kalau lo keluarganya Marinka pun, gue nggak bakal benci sama lo, kok.”

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang