14. Ancaman

120 15 1
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

“Hafika, tolong Buna buang sampahnya, ya. Buna mau nyuci piring bentar,” kata Buna sembari menyerahkan kantong plastik berwarna hitam kepadaku.

Beberapa hari sekali, aku dan Buna memang membuang sampah ke TPA yang ada di ujung gang. Maklum saja, tidak ada tukang sampah yang rutin berkeliling untuk mengambil sampah dari rumah ke rumah. Maka dari itu, kami harus membuangnya sendiri.

Karena jarak yang tidak terlalu jauh, aku memutuskan untuk berjalan kaki saja seraya menenteng kantong plastik berukuran tidak terlalu besar itu. Hitung-hitung, sambil berolahraga pagi.

Keadaan langit di luar rumah tampak masih gelap. Padahal, ini sudah menunjukkan pukul enam pagi. Beruntungnya, jalanan gang memiliki fasilitas pencahayaan yang cukup, sehingga aku tidak perlu takut akan kegelapan. Beberapa lampu teras rumah tetangga yang masih nyala pun menambah penerangan yang ada.

Seusai membuang sampah ke TPA, aku langsung kembali ke rumah. Awalnya, aku berniat untuk membeli bubur milik bu Ana. Sayangnya, bubur langgananku itu belum buka. Mungkin, sebentar lagi. Namun, aku tidak mungkin menunggunya sampai buka.

Langkah-langkah kecilku akhirnya membawaku tiba di rumah. Sebelum masuk ke dalam, aku mencuci tangan terlebih dahulu menggunakan kran air yang sengaja dipasang di luar. Aku mengibas-ngibaskan tanganku untuk mengeringkan air habis mencuci tadi. Setelah itu, aku baru membuka pintu dan berjalan masuk. Namun, langkahku terhenti ketika sebuah bayangan kembali tertangkap di sudut mataku.

Aku menoleh lantas kembali berjalan keluar untuk memastikan bayangan itu. Tidak ada siapa-siapa di sana. Selain, kucing hitam yang melompat dari arah yang sama dengan bayangan tadi.

“Oh, kucing,” gumamku bernapas lega. Firasat burukku seketika sirna ketika mengetahui bahwa itu hanya kelakuan dari seekor kucing.

Aku kembali masuk ke dalam rumah, menutup dan tak lupa mengunci pintu.

“Sayang, kamu udah pulang?” teriak Buna dari arah dapur.

“Ud—” Kalimatku terhenti ketika mendengar suara ketukan pintu dari luar. Aku memutar anak kunci yang sudah terpasang di silindernya dan membuka pintu. Tidak ada siapa-siapa. Lalu, siapa yang mengetuk pintu barusan?

Tidak mungkin kucing hitam tadi, bukan? Atau ....

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menghapus semua pikiran yang ada. Mungkin, hanya orang iseng yang mengetuk pintu kemudian berjalan pergi.

Aku hendak kembali menutup pintu saat mataku menangkap sebuah amplop berwarna putih di dekat keset bertuliskan kata 'welcome' itu. Dengan sedikit membungkukkan badan, aku meraih amplop itu. Aku membolak-balikkan amplop untuk menemukan tulisan di sana. Barangkali ada nama sang pengirim atau nam penerima. Sayangnya, tidak ada.

Namun, mengingat amplop ini diletakkan di depan rumahku, aku berasumsi bahwa amplop ini memang ditujukan untukku atau Buna. Boleh jadi, untuk kami berdua selaku penghuni di rumah ini.

🍀🍀🍀

Setelah selesai sarapan, aku memanfaatkan waktu yang tersisa sebelum masuk kuliah untuk membuka amplop yang tadi kutemukan di depan pintu. Rasa penasaranku begitu besar sehingga aku tak bisa menahannya lebih lama lagi.

Perihal Buna, aku jelas belum memberi tahunya perihal masalah ini. Biar aku mengecek isi amplopnya terlebih dahulu, baru setelah itu Buna boleh tahu.

Sekali lagi, aku mengecek bagian luar amplop tersebut, memastikan apakah ada nama pengirim atau penerima di sana. Atau, barangkali ada kode kecil yang tertulis di sana. Sayangnya, tidak ada. Amplop ini benar-benar bersih tanpa ada coretan sama sekali.

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang