4. Kebenaran tak selalu menyakitkan

243 29 3
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

“Sayang, kok kamu udah pulang?”

Pertanyaan dari Buna itulah yang pertama kali menyambutku saat pulang ke rumah. Memang, setelah pertemuanku dengan lelaki tadi, aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah.

Ehm, Hafika ….” Aku yang sebelumnya belum menyiapkan jawaban pun merasa nge-blank ketika diserang oleh pertanyaan Buna.

“Sayang, jujur sama Buna, Nak,” ucap Buna. Tangannya perlahan menyentuh kedua bahuku lalu perlahan turun mengelus permukaan lenganku. Hingga terdengar suara ringisanku akibat luka di siku yang tak sengaja disentuh Buna.

“Siku kamu berdarah. Kamu habis jatuh dari sepeda? Ayo, masuk ke dalem, biar Buna obatin dulu.” Nada kekhawatiran begitu kentara keluar dari bibir Buna. Buna menuntunku masuk ke dalam rumah dan duduk di atas sofa tua yang ada di ruang tamu. Buna lalu berjalan ke arah dalam, sepertinya hendak mengambil kotak P3K. Dugaanku benar, terbukti dari Buna yang keluar dengan membawa sebuah kotak berwarna putih berlogo tambah merah itu.

Buna duduk di sampingku dan membuka kotak itu. Kulihat pergerakan tangan Buna dengan lihainya membuka tutup botol berisi alkohol dan menuangkannya di kapas putih. “Tahan, ya, agak perih,” ungkap Buna yang membuatku was-was.

Aww.” Aku meringis saat permukaan kapas yang sudah dilumuri alkohol itu mengenai permukaan sikuku. “Pelan-pelan, Buna,” ucapku.

“Iya, Sayang, Buna udah pelan kok ini.”

Buna kembali menyentuhkan permukaan kapas itu ke sikuku. Kali ini, rasanya tidak terlalu pedih sehingga aku mampu menahan ringisanku agar tak keluar.

“Sekarang, cerita sama Buna, kenapa kamu bisa kayak gini?” tanya Buna setelah selesai mengobati lukaku. Ia membuang kapas bekas tadi ke tempat sampah yang letaknya berada di sebelah sofa panjang itu. Aku masih mengikuti pergerakan tangan Buna yang kini mulai menempelkan handsaplast ke bagian kulitku yang terluka.

“Kalau orang tua nanya itu ya dijawab. Jangan bengong aja, nanti kesambet,” sindir Buna yang sepertinya kesal karena belum mendapatkan jawaban dariku atas pertanyaannya.

“Iya, Buna. Hafika cerita.” Aku menarik napasku panjang sejenak. “Hafika tadi jatuh dari sepeda, soalnya kayuhannya kekencengan. Jadinya ya gini akhirnya.”

Kembali, aku menutupi semuanya dari Buna. Aku tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya bahwa aku telah menabrak mobil seorang lelakI yang bahkan namanya saja tidak kuketahui. Buna tidak boleh mengetahui hal tersebut, apalagi tentang ganti rugi yang dimintai oleh lelaki itu. Bisa-bisa, Buna akan menyerangku habis-habisan dengan kalimat penuh kekhawatirannya. Aku paling tidak bisa bila harus melihat lipatan di kening Buna kembali tercipta karena kecerobohanku.

“Masa, sih? Bukannya kamu udah biasa ngayuh sepeda? Kok bisa kekencengan trus jatuh?”

Dan, bodohnya aku, aku lupa bila seorang Buna sulit untuk dibohongi. Sedari usiaku masih usia anak balita, aku sudah lihai mengayuh sepeda miniku kesana-kemari. Bahkan, sampai usiaku nyaris menginjak kepala 2 pun, aku masih setia menggunakan sepeda sebagai alat transportasiku kemana-mana. Alasannya sederhana. Harga sebuah sepeda motor terlalu mahal untuk kupunyai. Bahkan, sepeda yang kupakai sekarang pun sepeda seken yang kubeli dengan uang tabungan saat lulus SMP.

“Ya, namanya juga kecelakaan, Buna. Gak ada yang tahu.” Akhirnya, kalimat itulah yang dapat kuberikan sebagai jawaban. Buna hanya menganggukkan kepalanya. Mungkin, ia sudah dapat menerima alasanku kali ini.

“Buna naruh ini ke belakang dulu sekalian ambilin kamu cemilan. Buna habis buatin kue ayam kesukaan kamu.” Setelah berujar demikian, Buna berlalu dari pandanganku. Sementara aku, tengah sibuk meneliti tempelan handsaplast di sikuku. Jika begini caranya, aku akan kesulitan menekuk tangan.

Aku mengangkat wajahku ketika suara langkah Buna terdengar. Buna keluar dengan sebuah piring kecil dan segelas air tidak berwarna.

“Wah, makasih, Buna. Tahu aja Hafika lagi laper,” ujarku lantas mengambil satu di antara dua kue ayam yang ada di piring.

Minimarket tutup awal hari ini? Kenapa kamu udah pulang jam segini?”

Aku nyaris tersedak ketika mendengar pertanyaan dari Buna. Buru-buru aku mengambil gelas berisi air tadi dan meneguknya.

“Ada yang kamu sembunyiin ya dari Buna?” Kulihat tatapan Buna yang mengintimidasiku. Oh God, apa ini saatnya aku menjelaskan semuanya kepada Buna? Tapi, jika aku terus mengulur waktu, bukankah nantinya tetap akan ketahuan?

Aku menghela napas. Mungkin, aku benar-benar harus memberitahu semua ini kepada Buna.

“Bun, … sebenarnya Hafika udah gak kerja di minimarket lagi.” Akhirnya, aku mampu menyelesaikan satu kalimat itu, meski sempat terjadi keraguan di awal. Aku memperhatikan raut wajah Buna. Takut-takut, ia segera menampakkan kekecewaan yang berujung penyesalan di lubuk hatiku. Namun, semuanya tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan. Tidak ada raut kecewa atau minimal raut keterkejutan yang terpampang di wajah Buna. Buna terlihat biasa-biasa saja … seolah Buna sudah mengetahui berita ini sebelumnya. Atau, … Buna memang benar-benar sudah mengetahuinya.

“Buna … Buna kenapa nggak terkejut?”

Perlahan, lengkung di kedua sudut bibir Buna terangkat. Ia mengelus puncak kepalaku dengan perlahan. “Sebenarnya, Buna udah tahu, Sayang,” ungkap Buna.

Ternyata benar … Buna memang sudah mengetahui semuanya.

“Pas kamu bilang minimarket tutup, sorenya, Buna sempat lewat jalan depan minimarket. Ternyata, minimarketnya buka. Saat itu, Buna yakin, ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari Buna.”

“Kenapa Buna nggak langsung tanya ke Hafika?”

“Karena, Buna tahu, cepat atau lambat, kamu bakalan cerita sama Buna. Anak Buna mana mungkin lama-lamaan main rahasia sama Buna.” Buna terkekeh kecil mengakhiri ucapannya. Hal itu jelas membuatku merasa tidak enak hati.

“Buna nggak marah?”

“Kenapa Buna harus marah?”

“Ya, karena Hafika udah bohong sama Buna.”

“Sama sekali nggak, Sayang. Cuma, ada satu hal yang pengen Buna bilang sama kamu. Mungkin, ada kalanya kebenaran terasa menyakitkan. Saat dimana kita mengetahui bahwa realita tak berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Tapi, nggak selamanya kebenaran itu menyakitkan, Sayang. Lebih baik, kita kecewa karena mendengar kebenaran dari awal, daripada harus mendengarnya di akhir, sementara kita udah terlanjur berekspektasi lebih.”

Aku berusaha mencerna kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Buna barusan. Apa yang dikatakan Buna memang benar. Aku tidak bisa menyangkalnya. Hal itu membuatku menyesal karena telah menyembunyikan semua ini dari Buna.

“Sini, peluk Buna dulu.” Buna merentangkan kedua tangannya. Aku segera menghambur ke pelukan wanita yang telah melahirkanku itu. Rasa hangat dan nyaman seketika menyambutku.

“Buna tahu, kamu pasti takut ngecewain Buna karena kamu udah nggak kerja lagi. Tapi, itu kan bukan kemauan kamu. Yang namanya jodoh, harta, dan tahta itu semuanya udah ditentuin sama Yang Maha Kuasa. Kita cuma bisa ngejalanin semuanya sesuai apa yang udah ditakdirkan kepada kita.”

Aku semakin merekatkan pelukanku pada Buna setelah mendengar semua kalimatnya.

Setelah Ayanda, Buna adalah orang kedua yang diciptakan Tuhan untuk menjadi mentorku dalam menjalani kehidupan.

🍀🍀🍀

1.034 words
©vallenciazhng_
December 22, 2021

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang