Happy Reading
🍀🍀🍀
Setelah Haydan pulang, Buna kembali menghampiriku di kamar. Goyangan di atas ranjang kecilku terasa ketika Buna turut duduk di sebelahku.
“Buna masih nggak percaya kamu tega bohongin Buna kayak gini, Sayang,” kata Buna membuka pembicaraan. Aku yang sedari tadi menundukkan kepala, memberanikan diri untuk mendongak dan melihat ke arah Buna.
“Maafin Hafika, Buna. Tapi, Hafika ngelakuin ini semua untuk bantuin Haydan, Buna.”
“Kamu yakin murni cuma untuk bantuin nak Haydan? Nggak ada alasan lain?” tanya Buna.
Aku menghela napas lantas menggelengkan kepalanya. “Sebenarnya, Hafika bantuin Haydan sebagai pengganti biaya ganti rugi karena udah buat mobilnya lecet, Buna,” cicitku.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita sama Buna, Sayang? Kenapa kamu sembunyiin ini semua?”
“Hafika takut Buna kepikiran, makanya Hafika nggak berani untuk cerita.”
“Gimana Buna bisa nggak kepikiran kalau semuanya menyangkut soal kamu, putri Buna satu-satunya?”
Aku tidak menjawab kalimat Buna, memilih untuk bergeming.
“Jadi, masalah perjodohan yang waktu itu kamu tanyakan soal Buna ada sangkut pautnya sama nak Haydan?”
Aku menganggukkan kepala.
“Sayang ... jujur, Buna kecewa karena kamu udah nyembunyiin ini semua dari Buna. Tapi, Buna nggak marah dan nggak akan bisa marah sama kamu. Satu hal yang Buna minta sama kamu ....” Buna menggantung kalimatnya. “Berhenti bantu nak Haydan.”
“Tapi, Buna, Hafika—”
“Buna tahu. Buna paham. Kamu cuma mau bantuin nak Haydan supaya terhindar dari perjodohan itu. Buna sama sekali nggak menyalahkan niat baik kamu. Tapi, yang jadi masalahnya itu Marinka.”
Aku tertegun mendengar nama itu disebutkan oleh Buna.
“Buna gak mau dengan kamu bantuin nak Haydan, kamu malah dalam bahaya seperti kejadian hari ini. Buna gak mau kamu kenapa-napa, Sayang. Jadi, Buna mohon dengan sangat, berhenti bantu nak Haydan. Bisa?”
Aku menatap dalam kedua bola mata Buna yang menyiratkan ketulusan. Aku tidak punya jawaban lain selain .... “Iya, Buna. Hafika akan berhenti bantuin Haydan.”
Tak lama setelah itu, senyuman di wajah Buna mengembang. Tangan Buna terulur mengelus puncak kepalaku. “Sampaikan hal ini baik-baik sama nak Haydan, Buna yakin dia pasti bisa terima ini. Dan, soal ganti rugi itu biar kita cari solusinya sama-sama.”
🍀🍀🍀
“Udah gue duga, nyokap lo pasti bakal minta lo berhenti bantuin gue,” ucap Haydan setelah aku menjelaskan semuanya. Termasuk, perihal permintaan Buna agar aku berhenti membantu lelaki itu.
“Aku minta maaf, Dan. Aku harap, kamu nggak marah sama Buna karena hal ini. Buna minta aku berhenti bantuin kamu karena takut aku kenapa-napa. Itu aja, bukan karena hal lain.”
Haydan tersenyum kecil. “Gue paham, kok. Lagian, mana ada, sih, orang tua yang rela anaknya jadi pacar pura-puraan cuma buat bantuin orang asing yang sama sekali nggak ada hubungan kerabat. Apalagi, kalau anaknya sampai diancam. Harusnya, gue yang minta maaf nyokap lo, Nay. Gue minta maaf karena udah buat putrinya dalam ancaman,” kata Haydan yang membuatku terdiam.
Kupikir, Haydan akan kembali membujukku untuk tetap membantunya seperti apa yang lelaki itu lakukan saat itu, saat aku memutuskan untuk berhenti. Akan tetapi, aku salah. Kali ini, Haydan seperti benar-benar menerima semuanya.
“Bahkan, kalau nyokap gue yang ada di posisi nyokap lo pun, dia pasti bakal nyuruh gue ngelakuin hal yang sama,” lanjutnya.
“Tapi, kamu nggak pa-pa kalau aku nggak bantuin kamu lagi? Lalu, gimana soal perjodohan kamu?”
“Lo nggak perlu khawatir. Gue udah ceritain semuanya ke bokap gue, tentang Marinka yang pernah ngancem lo dan juga tentang apa yang Marinka perbuat ke lo kemarin. Dan, lo tahu? Setelah gue ceritain semuanya ke bokap, bokap langsung telepon bokapnya Marinka dan batalin perjodohan itu. Bokapnya Marinka nggak terima. Tapi, bokap gue ngancam untuk membatalkan kerja sama antara mereka berdua kalau sampai keluarga Marinka berani macam-macam. Terlebih lagi, sama lo.”
“Kamu serius? Papa kamu udah batalin perjodohan itu?” tanyaku tidak percaya. Sebab, apa semudah itu membuat om Ardi membatalkan keputusan yang telah ia buat sejak jauh-jauh hari?
“Buat apa gue ngarang cerita?” tanya Haydan balik yang membuatku sontak menutup bibir. “Gue juga awalnya nggak percaya bokap secepat itu berubah pikiran. Tapi, pada akhirnya, gue tahu. Selain cerita tentang kelakuan Marinka yang buat bokap berubah pikiran, masih ada satu hal lain yang menjadi pertimbangan bokap.”
Aku mengernyitkan kening. “Apa itu?”
“Karena bokap udah tertarik sama lo.”
Aku membelalakkan kedua bola mataku mendengar itu.
“Eh, maksud gue, bokap udah tertarik sama kepribadian lo yang sederhana,” jelas Haydan. Tapi, bukan itu yang ingin kudengar. Melainkan ....
“Bokap udah restuin hubungan kita berdua, Nay.”
Seketika, napasku tercekat. Jika biasanya ada adegan slow motion di film-film, maka seperti itulah duniaku sekarang. Bergerak dengan begitu lambat. Seluruh pikiranku masih mencoba untuk mencerna kalimat yang baru saja disampaikan oleh Haydan.
Restu? Bagaimana bisa kami mendapatkan restu sedangkan kami hanya berpura-pura dalam menjalin hubungan?
“Lo tenang aja. Besok kita temuin bokap dan jelasin semuanya. Kali ini, sampai semuanya tuntas,” kata Haydan yang membuatku bisa bernapas lega.
“Makasih, Dan. Oh, iya ....” Aku mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasku dan menyerahkannya kepada lelaki itu.
Kulihat kening Haydan mengerut. “Ini apa?” tanyanya.
“Ini gaji pertama aku. Setelah aku hitung-hitung, cukup untuk bayar uang ganti rugi uang waktu itu. Tapi, kamu bisa hitung lagi, nanti kalau misalnya kurang biar aku bayar sisany—”
“Nay ....” Haydan menekan kedua bahuku secara perlahan. “Gue udah pernah bilang, gue nggak butuh uang itu.”
“Tapi, Dan—”
“Dengan lo bantuin gue sampai sini aja, gue udah benar-benar bersyukur, Nay.”
Aku tidak tahu pasti, namun yang jelas Haydan banyak berubah semenjak pertemuan tak berkesan kami waktu itu. Sekarang, tidak ada lagi Haydan yang berbicara dengan angkuhnya, juga Haydan yang dengan semena-mena memberikan perintah kepadaku. Haydan yang sekarang ialah Haydan yang benar-benar lembut dan serba pengertian.
“Heh, gak usah sok-sokan ngajarin soal tata krama. Sekarang, jawab! Lo kan yang udah buat mobil gue lecet?”
“Oh, jadi ceritanya lo gak mau ganti rugi dan lepas tanggung jawab gitu aja?”
“Nyaman banget ya hidup lo, Bambang.”
“Kenapa jadi lo yang marah? Harusnya, gue yang marah. Gue udah minta lo on time, jangan telat. Tapi, apa? Lo telat 1 menit.”
“Jadi orang gak usah kepedean bisa?”
“Woi, mau masuk, nggak?”
“Jangan kegeeran. Gue cuma gak mau aja nanti ditanyain sama nyokap lo karena muka anaknya kusut kayak pakaian yang belum disetrika.”
“Makasih, Nay. Makasih karena udah mau bantuin gue. Sorry kalau gue sebagai orang baru di kehidupan lo banyak ngerepotin,” bisik Haydan tepat di telingaku.
🍀🍀🍀
1.032 words
©vallenciazhng_
January 25, 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Wheel of Life [ Completed ✔ ]
RomancePertemuan Hafika dengan Haydan Acisclo membuat Hafika harus terjebak bersama lelaki itu. Hafika terpaksa menjadi pacar pura-puraan Haydan untuk membayar utangnya. Belum lagi, ia harus kembali berurusan dengan keluarga besarnya karena kehadiran Marin...