8. Cerita tentang ketidakadilan

169 20 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Kelas keduaku di hari ini sudah usai. Sekarang, waktunya aku me-refresh otak jenuhku dari berbagai materi yang memaksa masuk saat kuliah tadi. Masuk jurusan hukum ternyata tidaklah senyaman yang aku pikirkan. Karena nyatanya, memahami hukum konstitusi, hukum perdata, hukum pidana dan berbagai tetek bengek mengenai hukum lainnya tidaklah semudah menjawab setiap pertanyaan debat yang sering aku tonton di televisi. Juga, tidak semudah berharap menjadi seperti Hotman Paris, pengacara yang terkenal itu.

Tapi, aku bersyukur karena telah melewati 4 semester di masa yang lalu. Dan, statusku sebagai mahasiswa semester lima kini harus kupertahankan benar-benar. Sebab, di semester ini, aku sudah harus mulai memikirkan perihal judul skripsi dan garis besar secara kasar yang akan aku ambil untuk penelitian.

Niat awal kuliahku yang hendak menjadi anak ambis dengan perolehan IP sempurna alias 4 segera tersingkir di pikiranku kala memasuki dunia yang lebih jauh dalam hukum. Sekarang, yang terpenting ialah tidak mengulang mata kuliah dan dapat menyelesaikan wisuda tepat waktu. Ya, kalau bisa lebih cepat, agar aku bisa menghemat biaya semesternya.

Jika kalian bertanya, apa alasanku mengambil program studi Ilmu Hukum, maka jawabanku sederhana. Aku ingin membangkitkan kembali keadilan hukum bagi bangsa Indonesia. Sebab, seperti yang sering kulihat di televisi ataupun di sosial media, keadilan hukum di Indonesia kini sedikit timpang. Selalu saja ada kata "pilih kasih" antara kalangan yang mempunyai kasta tinggi dengan kalangan berkasta rendah.

Tapi, alasan terkuatku untuk masuk ke Ilmu Hukum sebenarnya karena Ayanda. Ayanda adalah salah satu orang terdekatku yang kuketahui pernah merasakan ketidakadilan di dalam keluarga besarnya. Aku yang pada saat itu masih kecil dan tidak mengerti apa itu keadilan, hanya bisa terdiam.

Hingga, pada saat Ayanda meningggalkanku dan Buna, Buna menceritakan semuanya kepadaku. Ya, tentang keluarga yang pilih kasih, tentang keluarga yang lebih mementingkan harta, dan tentang keluarga yang tidak punya hati nurani. Mereka bersikap seolah Ayanda bukanlah salah satu bagian dari keluarga inti mereka. Bahkan, sampai Ayanda telah terbaring di bawah tanah pun, mereka tidak berniat untuk pergi mengunjungi makamnya.

Berbicara mengenai Ayanda, aku berniat untuk mengunjungi makamnya. Mungkin, sudah terhitung satu bulan lamanya, aku dan Buna tidak menjenguk rumah kedua Ayanda selain di rumah kami. Sebenarnya, aku ingin mengajak Buna. Tapi, kurasa Buna tengah sibuk mengantarkan kue pesanan langganannya. Aku ingin sekali membantu Buna mengantarkan pesanan itu. Sayangnya, aku tidak bisa sebab harus berangkat ke kampus guna menempuh dua kelas mata kuliah hari ini.

Sebelum pergi ke makam Ayanda, aku menyempatkan diri untuk pergi ke toko bunga dekat makam. Aku membeli bunga mawar putih untuk nantinya dibawa ke makam Ayanda. Mawar putih sebagai lambang kesedihan. Meski, pesan terakhir Ayanda kepadaku ialah untuk jangan bersedih untuk kepergiannya, namun aku tidak bisa memungkiri bila kesedihan masih saja menyeliputi hari-hariku.

"Ini mawar putihnya, Mbak."

Aku seketika tersadar ketika penjual bunga itu memanggilku. Sebuket bunga mawar putih yang begitu cantik diserahkannya kepadaku. Aku menerimanya setelah membayar uang dengan nominal yang disebutkan oleh penjual bunga itu.

Beranjak dari toko bunga, aku mulai menapakkan kakiku di jalan setapak pemakaman. Melangkah guna menemukan makam beratasnamakan Bahari A-nama Ayanda. Aku merendahkan tubuhku lantas bersimpuh di samping makam Ayanda. Seketika, cairan bening mengalir turun dari sudut kanan mataku.

"Ayanda, ini Hafika datang buat ngejenguk Ayanda." Sebuah senyuman penuh kerinduan kupamerkan di hadapan makam Ayanda. Seolah-olah, kini yang kutatap itu ialah benar-benar wajah Ayanda.

"Maaf, Ayanda, sebulan terakhir Hafika dan buna jarang ke sini. Sebagai permohonan maafnya, Hafika datang dan bawain bunga ini untuk Ayanda," ujarku lantas meletakkan buket mawar putih itu di samping nisan Ayanda. Aku mengelus nisan itu dengan perlahan. "Ayanda, Hafika kangen. Ayanda di sana juga kangen gak sama Hafika?"

"Ayanda, Hafika sekarang udah semester lima loh kuliahnya. Sekarang, Hafika lagi dalam masa-masa mikirin judul skripsi. Kira-kira, Ayanda punya saran, gak?"

Aku lantas terkekeh kecil menyadari kebodohanku yang berbicara dengan gundukan makam Ayanda. Jelas-jelas, aku hanya akan mendapat sebatas angin lalu sebagai jawabannya.

"Ayanda, Hafika masih inget sama tujuan awal masuk ke prodi ilmu hukum. Semoga kelak, Hafika bakalan bisa jadi seorang pengacara dan membantu orang-orang dalam menegakkan keadilan, ya. Hafika gak mau ada orang yang bakalan hidup dalam ketidakadilan, seperti apa yang dirasakan oleh Ayanda, bahkan buna. Sesuai apa yang telah diamanahkan Ayanda dan buna dalam nama Hafika, Hafika bakalan menjadi sungai keadilan bagi dunia Ayanda dan buna."

Seketika, ingatanku melesat menuju saat-saat dimana Ayanda masih ada.

"Nak, kamu tahu, kenapa Ayanda dan Buna kasih kamu nama Hafika?" tanya Ayanda saat itu. Dengan polosnya, aku menggelengkan kepalaku, sebab belum pertanyaan mengenai arti nama belum pernah terpikirkan olehku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

"Hafika itu artinya sungai keadilan. Sengaja Ayanda taruh nama Hafika di kata pertama agar Hafika senantiasa ingat bahwa keadilan itu harus dijunjung nomor satu. Ayanda berharap, kelak kamu akan hidup dalam keadilan, serta tumbuh menjadi seseorang yang menjunjung tinggi hal itu." Begitu ungkap Ayanda saat menjelaskan perihal filosofi dan makna namaku.

Awalnya, aku hanya memuji kalimat yang begitu indah yang diucapkan oleh Ayanda. Tapi, setelah Ayanda meninggal, aku baru memahami maknanya secara mendalam. Ada doa yang teramat besar terselip di nama "Hafika". Ada harapan yang begitu diimpikan yang terselip di namaku.

Dan, ada beban keadilan yang ditaruh di punggungku untuk kutegakkan. Setidaknya, jika aku tidak bisa meraih keadilan bagi orang banyak, aku bisa meraih keadilan kembali kepada pelukan Ayanda dan Buna.

"Ayanda, doain Hafika dan buna selalu ya dari atas sana. Hafika tahu, pasti kehidupan di sana jauh lebih indah daripada di dunia. Tapi, Hafika gak berniat buat cepat-cepat nyusulin Ayanda ke sana. Karena, Hafika masih ingin mendapatkan keadilan atas nama Ayanda. Doain Hafika, ya." Aku memeluk nisan Ayanda, tidak peduli bila warna kemeja putihku yang akan berubah menjadi sedikit kotor akibat pelukan itu.

Aku mendongakkan kepalaku ke atas, menatap hamparan langit biru yang mulai menghitam. Sepertinya, sebentar lagi hujan akan turun membasahi seisi bumi. Aku memutuskan untuk pulang. Takut-takut bila hujan akan segera turun dan menghalangiku untuk tiba di rumah dengan cepat. Buna pasti akan mengkhawatirkanku jika aku pulang terlalu lambat.

"Ayanda, Hafika pamit pulang dulu, ya. Besok-besok, Hafika bakalan ajak buna sekalian ke sini buat jengukin Ayanda. Hafika pulang dulu. Sampai jumpa, Superhero nomor satunya Hafika." Elusan terakhir kuberikan di nisan Ayanda. Aku lantas bangkit dari acara bersimpuhku tadi dan bersiap melangkah menuju jalan yang tadinya kutempuh kemari.

Saat aku berdiri, tatapanku tak sengaja melihat ke makam yang berada di belakang makam Ayanda. Sebuah senyuman tersungging di wajahku.

"Keadilan bukanlah sekadar masalah kesalahan dan hukuman. Keadilan adalah lapisan humus dari ladang sebuah kebersamaan." - Goenawan Muhamad.

🍀🍀🍀

1.074 words
©vallenciazhng_
December 27, 2021

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang