18. Tentang Haydan dan Rosi

113 17 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Langkahku terhenti di depan pintu saat melihat Haydan dengan cepat memeluk seorang anak perempuan yang sendirian di kamar itu. Tidak hanya berakhir di pelukan, Haydan mengelus puncak kepala anak itu dengan lembut, seolah tengah mentransfer rasa khawatirnya.

Aku sedikit merasa penasaran dengan wajah anak perempuan itu dan baru bisa melihat jelas wajahnya saat Haydan mengurai pelukannya. Anak perempuan itu terlihat begitu kurus dengan mata sembab khas habis menangis. Rambut sebahunya acak-acakan. Baju biru muda yang anak itu kenakan juga tampak basah, mungkin terkena tetesan air matanya.

Aku hendak melangkah masuk untuk mendekati Haydan dan anak perempuan itu. Sayangnya, sebuah tepukan di bahuku membuatku terkejut dan sontak menoleh.

“Bu,” sapaku sopan setelah mengetahui siapa yang baru saja menepuk bahuku. Ia adalah wanita yang tadi disalami oleh Haydan.

“Kamu temannya Nak Haydan, ya?” tanyanya. Aku lantas menganggukkan kepalaku.

“Bisa kita bicara sebentar?”

“Oh, bisa, Bu.”

Aku lantas mengikuti langkah wanita yang membawaku ke belakang panti asuhan ini. Ia mempersilakanku duduk di salah satu kursi panjang yang ada di sana.

“Sebelumnya, perkenalkan, nama Ibu Halimah. Ibu pemilik panti asuhan ini.”

Aku menganggukkan kepala dan turut memperkenalkan nama setelahnya.

“Kemarin malam, sebelum ke sini, Haydan sudah cerita sama Ibu. Katanya, kali ini, dia gak akan datang sendirian. Ibu jelas bahagia dan juga bertanya-tanya, dengan siapa Haydan akan datang. Rupanya, dia datang dengan gadis cantik seperti kamu,” ujar bu Halimah diakhiri dengan pujian di akhir kalimatnya.

“Haydan sering ke sini, Bu?” tanyaku setelah sedari tadi memendam pertanyaan ini.

“Ya, bisa dibilang begitu. Biasanya, setiap dua minggu sekali, dia akan datang membawa makanan juga mainan untuk anak-anak panti. Tapi, sebulan terakhir ini, dia sudah jarang datang. Katanya, sibuk. Makanya, anak-anak sangat semangat saat dia datang tadi.”

Aku manggut-manggut mendengar cerita dari bu Halimah. Ternyata, Haydan memang sering ke panti asuhan ini. Tapi, kenapa lelaki itu bisa kemari? Dari mana ia mengetahui panti asuhan ini? Apa jangan-jangan ....

“Kamu pasti penasaran kenapa Haydan sering ke panti asuhan ini. Padahal, letaknya cukup jauh dari kota,” tebak bu Halimah yang sepertinya bisa membaca isi pikiranku. “Saat Haydan kecil, dia pernah tinggal di sini.”

Aku membelalakkan mataku ketika mendengar kalimat itu terucap. “Haydan pernah tinggal di sini?” Aku membeo.

“Iya. Dulunya, panti asuhan ini adalah rumah kos-kosan. Sampai di suatu ketika, Ibu dan suami menemukan seorang bayi yang tergeletak di depan pintu utama. Ibu begitu marah. Bisa-bisanya ada yang dengan tega membuang bayi tak berdosa ini. Karena, Ibu pada saat itu divonis tidak bisa mempunyai anak, Ibu memilih untuk merawat bayi itu. Ibu memberinya nama Haydan.

Ibu menyayangi Haydan sama seperti Ibu menyayangi darah daging Ibu sendiri. Sampai di suatu ketika, ada pasangan suami istri yang datang ke rumah dan mengakui Haydan sebagai anak mereka yang hilang. Mereka adalah pak Ardi dan bu Lena. Awalnya, Ibu tidak percaya dan berusaha mati-matian untuk mempertahankan Haydan. Tapi, setelah mereka memberikan beberapa bukti yang akurat, barulah Ibu percaya bahwa mereka adalah orang tua Haydan.”

Aku tak bisa menahan keterkejutanku mendengar cerita dari bu Halimah. Apa semua yang diceritakan olehnya ialah benar? Dari apa yang aku lihat, kedua orang tua Haydan begitu menyayangi putra mereka. Tidak seperti apa yang diceritakan oleh bu Halimah bahwa mereka membuang Haydan ke panti asuhan.

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang