32. Pertama dan terakhir

91 15 0
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

“Gue nggak nyangka lo berani nampar sekaligus ngomong kayak gitu ke Marinka,” kata Haydan di sela-sela keheningan.

Saat ini, aku, Kia, juga Haydan tengah berada di perjalanan pulang. Awalnya, aku menolak untuk diantar Haydan. Namun, lelaki itu memaksa untuk mengantarku dan Kia pulang.

Aku menatap Haydan lewat cermin kecil yang ada di bagian depan mobil kemudian tersenyum kecil. “Kenapa gitu?”

Aku mengelus surai hitam Kia yang sekarang tertidur di sebelahku. Sekembalinya aku dan Haydan ke mobil tadi, Kia memang sudah pulas dalam tidurnya. Mungkin, ia kelelahan. Posisi kepalanya yang sedikit miring tadi membuatku sedikit ngeri, maka dari itu aku menyenderkan kepalanya di tubuhku.

“Ya, gue kaget aja. Selama ini, gue nggak pernah dengar lo ngebentak orang. Baru tadi, gue denger lo ngomong dengan intonasi yang segitu kasarnya,” jelas Haydan yang membuat aku tertawa kecil.

Jika ditanya, aku sendiri juga tidak tahu dari mana keberanian itu mendadak datang. Yang jelas, aku benar-benar marah terhadap Marinka. Setelah Buna, lantas mengapa sekarang harus Kia yang menjadi korbannya?

“Gue penasaran, kenapa Marinka sebenci itu sama lo. Apa ini ada kaitannya sama gue?”

Aku tidak menjawab lebih lanjut, melainkan hanya mengedikkan bahu. Biarlah keheningan yang menjawab pertanyaan Haydan tadi.

“Dan, yang itu rumahnya,” ujarku seraya menunjuk ke arah rumah bu Ineke. Mobil Haydan lalu berhenti tepat di depannya. Saat aku hendak membangunkan Kia, ia malah sudah terbangun. Aku membuka pintu mobil dan membantu Kia turun.

“Bunda!”

Sorakan Kia membuatku bergeming. Bu Ineke ... ternyata sudah pulang. Tapi, kenapa seawal ini?

Aku berjalan masuk dengan perasaan takut yang menyelimuti. Bagaimana jika bu Ineke mengetahui kejadian yang menimpa putrinya sore ini?

“Kia Sayang ... udah selesai jalan-jalannya, Nak?”

“Udah, Bunda. Tapi, tadi ada kakak jahat yang maksa Kia ikut pelgi sama dia, Bunda. Kia takut.”

“Kakak jahat? Kakak jahat itu siapa, Sayang?”

Kia menggelengkan kepalanya. “Kia nggak kenal, Bunda.”

Aku menghela napas pasrah. Seharusnya, aku tahu, cepat atau lambat, bu Ineke akan tahu. Entah itu dari bibirku sendiri atau justru seperti sekarang ini. Bu Ineke mengetahui semuanya dari pengaduan Kia.

Aku melihat bu Ineke yang saat ini menatapku dengan penuh tanda tanya.

“Kia Sayang, kamu masuk ke dalam dulu, ya, Nak? Bunda mau bicara sama Kak Hafika,” ujar bu Ineke. Kia menurut dan berjalan masuk ke dalam rumah, menyisakan aku dan bu Ineke di teras.

Ah, Haydan juga.

“Bisa kamu ceritakan ke saya apa yang terjadi saat di taman tadi?”

Aku tidak punya pilihan lain, selain menceritakan semuanya kepada bu Ineke.

“Bagaimana bisa hal itu terjadi? Bukannya saya udah kasih tahu kamu berulang kali? Jagain Kia, Hafika!”

Aku meringis mendapati kalimat dengan intonasi yang sedikit tegas dari bu Ineke. “Maaf, Bu,” cicitku.

“Sedari awal, harusnya saya nggak kasih izin ke kamu untuk bawa Kia keluar rumah. Kamu teledor, Hafika.”

“Maaf, Bu, sebelumnya, tapi saya rasa ini bukan salah Naya. Naya udah berusaha jaga Kia dengan baik. Ini semua cuma musibah yang sama-sama nggak kita inginkan. Lagi pula, di sini Hafika dan Kia sama-sama korban,” celetuk Haydan seketika. Aku lantas menoleh ke arah lelaki itu dan memberikannya kode untuk diam. Untuk urusan kali ini, tidak seharusnya Haydan ikut campur.

“Lelaki ini siapa, Hafika?” tanya bu Ineke.

Ehm, dia ....”

“Saya Haydan. Temannya Naya.”

“Kamu ada di tempat kejadian saat Kia hilang?”

“Kebetulan, nggak, Bu. Tapi, saat itu, Naya nelepon saya untuk bantu nyari Kia.”

“Oh, begitu. Lalu, bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa Hafika dan Kia sama-sama korban? Ini jelas karena kelalaian Hafika dalam menjaga putri saya. Kia jelas shock dengan kejadian yang menimpanya hari ini.”

“Karena, saya kenal perempuan yang hendak membawa pergi anak Ibu.”

“Dan, udah cukup,” bisikku pada Haydan. Akan tetapi, lelaki itu sepertinya masih bersikeras untuk membelaku.

“Perempuan itu orang yang hendak dijodohkan papa saya dengan saya. Dia nggak suka sama Naya, karena Naya dekat sama saya. Dan, perempuan berupaya untuk mengganggu kehidupan Naya. Mungkin, itu salah satu alasan, kenapa dia mengganggu anak Ibu. Karena, anak Ibu dekat dengan Naya,” jelas Haydan. “Jadi, saya rasa, Ibu nggak berhak untuk menghakimi Naya semena-mena.”

“Baik. Saya nggak akan terus-menerus menyalahkan Hafika,” kata bu Ineke yang membuatku sedikit lega. Bu Ineke beralih menatapku. “Tapi, saya mohon maaf karena saya nggak bisa memercayakan Kia lagi ke kamu, Hafika.”

“Mungkin, ini bukan sepenuhnya kesalahan kamu. Yang jelas, Kia tidak akan aman jika terus-menerus bersama orang yang mempunyai masalah di kehidupan pribadinya. Terlebih, jika masalah itu turut menyeret orang lain ke dalam lingkarannya.”

Sayangnya, perasaan lega itu hanya bertahan sesaat. Aku mengernyitkan keningku, masih berusaha keras mencerna maksud dari kalimat terakhir bu Ineke. “Mak-maksudnya, Bu?”

Bu Ineke tidak langsung menjawab. Ia berjalan masuk ke dalam rumah—entah untuk apa—dan kembali keluar setelah beberapa saat membiarkanku berada di luar dengan pikiran yang berkecamuk.

“Ini gaji pertama sekaligus terakhir kamu. Tenang aja, walaupun kamu baru seminggu bekerja di sini, untuk gajinya, saya bayar full untuk sebulan.”

Aku menatap amplop cokelat yang kini diserahkan oleh bu Ineke kepadaku, tanpa berniat mengambilnya.

“Ini apa, Bu?”

“Saya mohon maaf, Hafika. Hari ini, hari terakhir kamu bekerja. Semoga kamu bisa mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik dari ini.”

“Ta-tapi, Bu, saya ....”

“Saya taruh di sini amplopnya, ya. Kalau nggak ada hal penting yang perlu dibicarakan lagi, saya masuk dulu. Permisi.”

“Bu Ineke, saya minta maaf, Bu. Saya minta maaf karena udah lalai ngejaga Kia. Tapi, saya mohon, jangan pecat saya, Bu,” ucapku seraya mencoba mengetuk pintu yang baru saja ditutup rapat dari dalam oleh bu Ineke. “Bu Ineke, saya mohon, Bu.”

“Nay, udah, Nay.”

“Lepasin, Dan.” Aku menghempas tangan Haydan yang kini menggengam pergelangan tanganku, lalu kembali mengetuk pintu rumah bu Ineke. Laun, ketukanku pada pintu kayu itu melambat. Aku kehabisan tenaga untuk mengetuknya lebih kuat.

Tubuhku kubiarkan luruh begitu saja di depan pintu, seiring dengan setetes air mata yang turun membasahi pipiku.

“Nay ...,” panggil Haydan perlahan. Ia menarikku ke dalam pelukannya dan mengelus lembut puncak kepalaku.

“Dan, aku ... aku udah lalai jagain Kia. Aku bodoh. Aku teledor karena udah lepasin pengawasan aku dari Kia,” lirihku.

“Dengerin gue, Nay. Lo nggak perlu nyalahin diri lo kayak gitu. Ini bukan kemauan lo, Nay. Lo dan Kia itu cuma korban dari rasa obsesi yang dimiliki Marinka.”

“Nay. Ikut gue, ya?”

“Kemana, Dan? Aku belum mau pulang. Aku nggak siap harus ketemu Buna dan ceritain semuanya.”

“Kita nggak pulang,” ucap Haydan yang membuatku kebingungan.

“Marinka ... kita ke rumah Marinka sekarang dan beresin semua akar permasalahan ini.”

🍀🍀🍀

1.055 words
©vallenciazhng_
January 21, 2022

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang