Happy Reading
🍀🍀🍀
Hujan dengan cepat mengguyur bumi sesaat setelah aku menginjakkan kaki di teras rumah. Dalam hati, aku bersyukur sebab hujan itu datang tepat waktu. Ia datang setelah aku sampai di rumah, sehingga aku tidak perlu merasakan guyuran hujan yang membasahi tubuhku.
"Sayang, kenapa kamu baru pulang? Kamu habis dari mana aja?" Suara Buna dengan cepat mengisi ruang telingaku, menggantikan suara hujan yang kini mulai menderas.
"Tadi Hafika mampir bentar ke makam ayanda, Bun, makanya agak telat dikit," ujarku sembari melepas sepatu kets yang kugunakan untuk pergi ke kampus. Aku dapat mendengar helaan napas Buna di sela-sela suara hujan.
"Buna kirain kamu kemana tadi. Kamu kenapa gak ajak Buna ke makam ayanda? Buna udah lama juga gak ke sana."
"Maaf, Bun. Hafika kirain, Buna tadi bakalan sibuk antarin kue ke pelanggan Buna, jadinya Hafika pergi sendiri aja."
"Ya udah, deh. Lain kali, kalau kamu mau pergi, ajak Buna, ya."
Aku dengan cepat menganggukkan kepalaku. Buna lantas mengajakku masuk ke dalam, sebab berlama-lama di luar bukanlah pilihan yang tepat. Udara dingin begitu menusuk ke tulang-tulang.
"Bun, Hafika ke kamar dulu, mau naruh barang, ya," ujarku kepada Buna, kemudian berjalan berbeda arah dengan Buna yang kini menuju dapur.
🍀🍀🍀
Aku berjalan menuju nakas sembari mengelap rambut basahku bekas mandi tadi guna mengambil ponsel yang sedari tadi berdering.
From : Haydan
Ada yang perlu gue bicarain.
Share alamat rumah lo.
Besok sore jam 5 gue jemput.Aku membelalakkan mataku ketika membaca baris pesan terakhir yang dikirimkan oleh Haydan. Aku tentu tidak dapat mengizinkannya. Aku tidak ingin lelaki itu bertemu dengan Buna. Terlebih, aku takut bila Haydan akan membocorkan masalah yang kemarin kepada Buna. Sungguh, ini tidak boleh terjadi. Buna akan merasa bersalah jika ia tahu perihal ini.
To : Haydan
Kamu kasih tahu aja lokasinya di mana.
Biar aku pergi sendiri, gak perlu kamu jemput.Sembari menunggu balasan dari Haydan, aku meletakkan ponselku kembali di atas nakas dan melanjutkan aktivitasku mengeringkan rambut. Aku membuka kipas angin yang ada di kamarku dan mengaturnya hingga ke kecepatan tertinggi. Bukannya gerah. Hanya saja, aku terbiasa mengeringkan rambutku di depan kipas agar cepat kering.
Sebuah notifikasi terdengar dari ponselku. Itu pasti balasan dari Haydan. Aku segera membuka layar kunci ponsel dan mengecek pesan itu. Tapi, aku salah. Pesan itu bukan berasal dari Haydan, melainkan dari operator yang menawarkan promo kuota internet. Mungkin, aku terlalu percaya diri, sehingga mengira bahwa Haydan akan dengan cepat membalas pesanku.
Ponselku bergetar kembali saat aku hendak mematikan layar. Kali ini, pesan yang datang itu benar-benar dari Haydan.
From : Haydan
Gue jemput lo.
Share alamat lo.
Gue gak nerima penolakan.Aku menghela napas. Mengapa pesan yang dikirimkan oleh Haydan seperti tidak asing? Seperti, kata-kata yang biasanya diucapkan oleh tokoh cerita dalam novel saat permintaannya ditolak oleh lawan bicaranya. Dan, biasanya, jika lawan bicaranya masih berusaha melakukan penolakan, maka si tokoh akan berusaha mencari tahu sendiri mengenai apa yang ia inginkan dari lawan bicaranya.
Ah, aku tidak bisa diam saja. Aku tidak boleh membiarkan Haydan yang turun tangan sendiri untuk mencari tahu tentangku. Apalagi, ia berasal dari keluarga yang kaya raya. Pastinya, bukan hal yang sulit untuk Haydan membayar orang suruhan guna mencari tahu semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wheel of Life [ Completed ✔ ]
RomancePertemuan Hafika dengan Haydan Acisclo membuat Hafika harus terjebak bersama lelaki itu. Hafika terpaksa menjadi pacar pura-puraan Haydan untuk membayar utangnya. Belum lagi, ia harus kembali berurusan dengan keluarga besarnya karena kehadiran Marin...