2. Menutupi dari Buna

385 37 4
                                    

Happy Reading

🍀🍀🍀

Aku tidak menyangka, kemarin akan menjadi hari terakhirku bekerja. Sejujurnya, aku masih menaruh harapan pada pekerjaanku itu. Walau bagaimanapun, bekerja di minimarket milik Pak Anton adalah pekerjaan pertamaku. Di sana, aku benar-benar merintis perjuangan dari nol. Aku yang belum terbiasa tersenyum setiap saat ketika berada di meja kasir harus terus membiasakan diri. Hingga saat aku sudah nyaman dengan posisi pekerjaanku, aku malah mendapatkan kabar seperti kemarin.

Aku menghela napasku. Sepulang kuliah tadi, aku sudah berbohong kepada Buna mengenai pekerjaanku. Aku mengatakan bahwa hari ini minimarket libur karena Pak Anton sedang ada urusan. Untuk sementara waktu, kebohongan itu memang terdengar menenangkan. Tapi, bagaimana dengan hari-hari berikutnya? Apa aku harus kembali membohongi wanita yang telah mengandungku 9 bulan lamanya itu?

Keadaan di luar rumah sekarang tengah hujan. Sedari aku pulang, rintik air yang awalnya berupa tetesan kini kian menderas. Aku baru ingat, bila sekarang sudah memasuki musim penghujan. Kalau begini caranya, aku bisa kesulitan dalam bergerak guna mendapatkan pekerjaan.

“Sayang.” Suara panggilan itu membuatku menoleh. Aku mendapati Buna masuk ke dalam kamarku yang tak begitu luas. Buna berjalan mendekat ke arahku dengan membawa segelas susu cokelat kesukaanku. “Ini diminum dulu susu cokelatnya,” ujar Buna.

Aku menerima gelas itu dan langsung meniup permukaan susu. Perlahan, kerongkonganku mulai basah karena susu yang kuseruput.

“Gimana kuliahnya tadi? Katanya ada tes lisan, ya?”

“Iya, Bun. Tadi ada tes lisan. Semuanya berjalan dengan lancar. Hafika bisa ngejawab semua pertanyaan dari dosen,” jawabku. Buna tersenyum sembari mendekatkan dirinya untuk lebih dekat denganku. Tak lama setelah itu, aku sudah masuk ke dalam pelukan terhangat yang pernah aku rasakan, yakni pelukan milik Buna.

“Anak Buna dan Ayanda memang pintar. Ayanda pasti bangga sama kamu, Sayang.”

Mendengar nama panggilan bagi cinta pertamaku tersebut, suasana di sekitarku seketika berubah menjadi sendu. Ayanda adalah panggilanku untuk sosok ayah terhebat yang pernah kumiliki. Sayangnya, kini kami telah berbeda dunia, sehingga tidak dapat lagi kurasakan pelukannya mendekapku seperti apa yang dilakukan Buna saat ini. Akan tetapi, aku yakin. Jauh di atas sana, Ayanda pasti juga mengirimkan kasih sayang yang sama besarnya seperti Buna kepadaku.

“Buna ke belakang dulu, ya. Mau nyuci piring bentar.”

“Biar Hafika aja yang nyuci, Buna,” ujarku menahan pergelangan tangan Buna yang hendak pergi.

Buna lantas menggeleng dan memintaku untuk menghabiskan susu cokelat buatannya saja. Aku hanya bisa menuruti permintaan Buna mengingat aku tidak ingin menjadi anak pembangkang baginya. Satu-satunya anggota keluarga yang masih kupunya sekarang setelah kepergian Ayanda adalah Buna. Bahkan, sebelum pergi, Ayanda sempat berpesan kepadaku untuk menjadi putri yang penurut.

Aku beranjak menuju lemari pakaianku lantas mengeluarkan sebuah bingkai foto dari sana. Bingkai berbentuk segi empat itu menampilkan wajahku bersama dengan dua orang yang kucintai; Ayanda dan Buna. Foto itu diambil tepat di ulang tahunku yang ke sepuluh tahun saat baru berpindah ke rumah yang kami tempati saat ini. Usia yang masih cukup muda untuk mengerti bagaimana ketidakadilan berusaha menggeser posisiku dan kedua orang tuaku dari kediaman yang seharusnya kami tempati, bukan seseorang dari gen lain yang datang menyerobot dan menjadi penguasa tunggal.

Aku mengelus permukaan bingkai foto itu sembari mencurahkan isi hati. Berharap bila Ayanda yang kini hanya bisa kutatap dari foto bisa mendengarkan semua kegundahanku. “Ayanda, maafin Hafika karena Hafika udah bohong sama Buna. Padahal, Ayanda selalu bilang sama Hafika untuk selalu berkata jujur. Tapi, Hafika gak sanggup kalau harus bilang yang sejujurnya sama Buna. Hafika takut nantinya Buna bakalan kepikiran sama Hafika.”

Aku tak lagi kuasa membendung cairan di pelupuk mataku untuk tak turun begitu saja. Aku paling takut untuk mengecewakan Ayanda dan Buna.

“Ayanda, Hafika janji. Besok Hafika bakalan cerita semuanya sama Buna. Setidaknya, biarin Hafika untuk menyembunyikan hal ini dulu dari Buna hari ini. Ayanda jangan marah, ya? Hafika sayang banget sama Ayanda.” Aku memeluk bingkai foto itu lantas membiarkan tetesan air mataku semakin menderas. Lagian, tidak akan ada orang yang mengetahui suara tangisku. Sebab, tangisku kini kalah keras dengan tangisan bumi.

🍀🍀🍀

Biasanya jam-jam seperti ini, aku sudah siap untuk berangkat ke minimarket. Aku memang bekerja part time di minimarket setiap Senin sampai Jumat, sedangkan untuk Sabtu dan Minggu, aku bekerja full time. Namun, terkhusus untuk Sabtu ini dan mungkin untuk seterusnya—sampai aku mendapatkan pekerjaan baru—aku tidak akan berpakaian rapi di jam 7 pagi. Toh, pakaian formal apa yang harus kukenakan bila hanya duduk di rumah?

Aku bersiap untuk keluar kamar dan memberitahu semuanya kepada Buna. Ya, perihal putrinya yang sudah tidak bekerja lagi di minimarket. Semalaman suntuk, aku sudah menguatkan tekadku. Aku tidak bisa terus-terusan menyembunyikan semua ini pada Buna. Buna harus tahu keadaanku saat ini.

“Pagi, Sayang,” sapa Buna saat aku baru keluar dari kamar. Kamarku berdekatan dengan ruang makan. Maka dari itu, saat Buna tengah menata makanan di atas meja makan, ia mengetahui keberadaanku.

“Pagi, Buna.”

Buna yang sedari tadi sibuk menata piring berisi sayur seolah terkejut saat menatap ke arahku. “Ya ampun, Sayang. Kamu kenapa belum siap-siap? Nanti telat loh kerjanya,” ujar Buna dengan paniknya.

“Ehm, Buna ... sebenarnya.”

“Udah-udah, ngomongnya nanti aja lagi. Kamu burusan ganti baju. Buna mau siapin bekal kamu dulu.” Setelah berujar demikian, Buna lantas berjalan ke dapur, meninggalkanku yang kembali merenungi niatanku. Apa aku sanggup untuk memberitahu semuanya kepada Buna? Buna terlalu semangat untuk menyiapkanku bekal hingga rasanya aku tak kuasa harus menggoreskan sebuah kekecewaan di wajahnya.

Mau tidak mau, pagi ini aku harus berpura-pura berangkat ke tempat kerja. Kembali bersikap seolah aku memang masih mempunyai kesibukan untuk mencari pundi-pundi rupiah.

Tapi ... kurasa tidak ada salahnya aku berangkat pagi ini. Aku bisa memanfaatkan waktu untuk mencari pekerjaan yang baru. Senyumku kembali merekah setelah semangat Buna sedikit mulai tepercik dan turut mengobarkan semangatku.

Aku segera berlari ke kamar untuk bersiap-siap seperti apa yang disuruh oleh Buna. Setelah rapi dengan outfit serba biru milikku, aku duduk manis di meja makan. Sembari menunggu Buna yang sepertinya masih sibuk menyiapkan bekalku, aku mengambil ponsel dan men-scroll sosial media.

“Nah, kan gitu cantik anak Buna,” ujar Buna yang cukup mengagetkanku.

“Buna bisa aja,” ucapku tersipu. Sungguh. Tidak ada seorang lelaki di luar sana yang mampu membuatku tersipu, seperti apa yang mampu dilakukan Buna—dan Ayanda dulu—.

“Buna, sarapan, yuk. Hafika udah laper, nih.”

“Ayo, Sayang. Sebelum makan, berdoa dulu, ya.”

Setelah mengucapkan doa sebelum makan, aku langsung mengisi perutku dengan sarapan pagi terenak sejagat raya, yakni buatan Buna. Tak berlama-lama, aku sudah bangkit dari kursi dan beranjak ke tempat pencucian piring.

“Piringnya nanti biar Buna yang cuci aja, Sayang. Kamu buruan berangkat gih,” ujar Buna yang sepertinya sudah tahu niatanku. Aku menurutinya dan kembali ke meja makan untuk mengambil tasku yang berisikan beberapa berkas lamaran pekerjaan.

“Buna, Hafika berangkat dulu, ya,” ucapku lantas menyalami tangan Buna.

“Iya, Sayang, semangat kerjanya, ya.”

Kalimat tersebut kuselewengkan artinya menjadi semangat untuk mencari pekerjaan yang baru.

Aku berjanji, nanti malam aku benar-benar harus mengatakan yang sejujurnya pada Buna. Tidak peduli apa pun keadaan yang terjadi.

🍀🍀🍀

1.135 words
©vallenciazhng_
December 21, 2021

Wheel of Life [ Completed ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang