Happy Reading
🍀🍀🍀
“Buna!” pekikku tertahan ketika melihat Buna tengah berbaring di atas salah satu brankar di ruangan serba putih rumah sakit ini. Aku segera membuka pintu dan menghampiri Buna. “Buna, Buna nggak pa-pa, kan?” tanyaku dengan panik.
Kali ini, aku tidak dapat menyembunyikan rasa panik yang bersarang di hatiku lagi. Bahkan, saking paniknya, aku hampir saja terjatuh saat berjalan—setengah berlari—di koridor rumah sakit tadi. Beruntungnya, ada Haydan yang sigap menarik lenganku dari belakang, sehingga aku tidak perlu jatuh dan mencium lantai.
“Buna nggak pa-pa, Sayang.” Jawaban yang selalu Buna ucapkan ketika kutanyai kabarnya. Dan, tentu saja, kalimat itu ialah kalimat kebohongan.
“Buna jangan bohong sama Hafika. Kalau Buna nggak pa-pa, kenapa Buna sampai masuk rumah sakit dan diinfus kayak gini?”
“Buna ngga—”
“Tadi kata bu Ineke juga, Buna hampir pingsan. Iya, kan? Jadi, gimana Hafika bisa percaya kalau Buna nggak pa-pa?”
Bukannya menjawab kekhawatiranku, Buna malas tertawa.
“Buna kok ketawa, sih?”
“Anak Buna lucu kan, Nak,” kata Buna kepada Haydan. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Haydan yang kini tengah menahan semburat senyumnya.
“Ih, Buna. Hafika lagi khawatir. Kenapa malah diketawain gitu, sih?” ucapku kesal.
“Buna beneran nggak pa-pa, Sayang. Kata Dokter, Buna cuma kecapekan dan sedikit dehidrasi aja. Kata dokter, cuma perlu bedrest sedikit.”
“Cuma? Aja?” beoku. “Buna selalu aja kayak gitu. Selalu menganggap remeh masalah penyakit kayak gini.”
“Kamunya aja yang terlalu berlebihan, Sayang,” ucap Buna yang membuatku mendengkus kesal.
“Tau ah, Bun. Hafika kesal,” ujarku mengambek. Aku melipat kedua tanganku sebatas dada sembari membuang muka. Sementara itu, Buna dan tentunya juga Haydan malah sibuk menertawaiku.
“Hafika mau keluar dulu,” ucapku.
“Mau ngapain?” tanya Buna.
“Mau urus administrasi, Buna. Memangnya, biaya rumah sakitnya gratis?” ujarku sedikit ketus, karena masih kesal dengan Buna. Aku lantas berjalan keluar dari ruangan. Tiba-tiba, seseorang mencekal tanganku dari belakang.
“Kenapa?”
“Lo bawa cukup uang?” tanya Haydan yang membuatku refleks mengecek isi dompetku.
“Biar gue yang urus administrasinya, lo temenin nyokap lo aja di dalam.”
“Eh, nggak usah, biar aku—”
“Bisa nggak nurut aja?” tanyanya mengintimidasi. Bodohnya, aku seolah terhipnotis dan hanya bisa terdiam di tempat. Bahkan, aku masih bergeming saat lelaki itu sudah berjalan pergi dari tempatnya berdiri tadi.
Setelah sadar, aku baru merutuki kebodohanku yang hanya membawa uang sebanyak dua ratus ribu di dompet. Tentu saja, uang sebanyak itu tidak akan cukup untuk membayar administrasi rumah sakit.
🍀🍀🍀
“Bentar, ya, Buna,” ujarku lantas berjalan keluar saat melihat bayangan Haydan yang sepertinya hendak masuk ke ruangan tempat Buna dirawat.
“Loh, ngapain lo keluar?” tanya Haydan yang mungkin kebingungan karena melihat keberadaanku.
“Aku mau bicara bentar,” ucapku lantas menarik lengan lelaki itu untuk menjauh dari pintu. Aku sedikit celingak-celinguk untuk memastikan bila Buna tidak mencuri-curi kesempatan mendengar perbincangan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wheel of Life [ Completed ✔ ]
RomansaPertemuan Hafika dengan Haydan Acisclo membuat Hafika harus terjebak bersama lelaki itu. Hafika terpaksa menjadi pacar pura-puraan Haydan untuk membayar utangnya. Belum lagi, ia harus kembali berurusan dengan keluarga besarnya karena kehadiran Marin...